Lautan wujud mahaluas ini lahir dari kegelapan
Tak seorang pun tahu inti rahasianya di dalam
Tiap orang membual demi kepuasan dirinya
Namun siapa dia dan mengapa, tak seorang mau berkata.
~Omar Khayyam (1048-1131)
KETIKA
tulisan ini kami susun, Indonesia masih disibukkan oleh gerakan #SaveKPK,
#SavePolri. Keduanya memiliki pendukung fanatik. Kami, mengajukan saran yang lebih
di tengah tapi menyeluruh: #SaveIndonesia. Seperti yang sudah kami paparkan
dalam tulisan lain, Menyelamatkan Indonesia, adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Ya, menyelamatkan negeri ini jauh lebih penting
tinimbang runyam mengurus perbalahan KPK dan Kepolisian.
Pada
hari Minggu lalu, 22 Februari 2015, tak dinyana kami dipertemukan ruang-waktu
dengan catatan Bre Redana di harian Kompas
yang berjudul “Save” Zaman, tanpa
tagar.
Tawaran
Bre tersebut patut dicermati. Kendati menulis begitu singkat namun ia tak
sedang berakrobat kata. Bre sedang getun sendiri. Mungkin juga nyinyir, sinis,
dan satir, pada adab yang harus ia hidupi di senjakala usianya. Kami mencium
nuansa itu, sarat dalam tulisannya yang bernas. Kita memang benarbenar harus
menyelamatkan zaman yang sedang tunggang langgang ini.
Bre,
adalah satu dari sedikit manusia mawas di negeri ini yang masih bisa kita
andalkan buah pikiran dan perenungan batinnya.
Barangkali
rekan pembaca sekalian tahu dan mengerti apa itu zaman edan. Pun seandainya tidak, jangan khawatir. Kami akan
berusaha membantu Anda menemu jawabnya dengan mengajukan pertanyaan baru pada
bagian lanjutan tulisan ini.
Gambaran
kecil dari zaman edan itu bisa kita tilik dalam Charles Baudelaire: A Lyric Poet in the Era of High Capitalism:
1973, h. 71) karya Walter Benyamin. Di situ ia menulis, “pemerasan terhadap
orangorang produktif demi... prinsip “kreativitas.” Apalagi, ketika orangorang
produktif itu ternyata mampu menyuguhkan karyanya berdasarkan inisiatif dan
pemikiran murninya sendiri.”
Google,
Microsoft, Apple, Samsung, Facebook, Walt Disney, adalah beberapa nama korporasi
global yang menuntut pekerjanya terus berada pada level tertinggi semangat
kerjanya. Mereka dibayar mahal untuk itu. Meskipun yang mereka terima, tetap
tak sebanding dengan apa yang mereka beri-hasilkan untuk perusahaan tempatnya
bekerja.
Harga
diri manusia kalah prestise dengan barang elektronik atau perangkat aplikasi
teknologi informasi yang marak pada abad kita. Ada kemerosotan moral akut yang
kita biarkan terjadi begitu saja. Diakui atau tidak, kehidupan manusia abad ini
telah begitu rusak parah. Mereka yang paling kaya sedunia sekali pun, sama
belaka dengan yang paling kere. Sama tak tahu mau dikemanakan arah hidupnya,
diakhiri dengan cara bagaimana, dan dipertanggungjawabkan pada siapa?
Gerak
pertumbuhan ekonomi dunia yang kian timpang, memaksa kita mengamini apa yang
sedang terjadi di depan mata: kematian sistem kepercayaan. Ada begitu banyak
kepercayaan yang harus rela tergerus oleh arus globalisasi yang di glokalkan. Ekonomi, dengan sekian banyak
dalih kemajuannya, lantas tampil di garda depan masyarakat dunia sebagai agama
baru tanpa nabi, tanpa kitab suci, tanpa tuhan.
Istilah
yang lazim digunakan dunia modern seperti konvergensi
hanyalah sebuah kata baru bagi gagasangagasan lama mengenai keutuhan vertikal:
sebuah organisasi raksasa yang mengambil alih perindustrian dari puncak ke
bawah dan dengan demikian melenyapkan persaingan dengan menentukan semua aspek
pasar.[ii]
Lonsum,
Merauke Integrated Food and Energy Estate, Cargill, Syngenta, Archer Daniel
Midlands (ADM), Wanbao Africa Agricultural Development Company, Bayer, dan Monsanto, adalah segelintir contoh korporasi
oligopoli yang melakukan konvergensi lahan pertanian dan penguasaan hasil
olahannya di banyak negara Asia. Sistem operasi ekonomi satu untuk semua
sungguh benar telah diterapkan pada masa kita sekarang. George Soros telah dengan
terang melakukan itu ketika merontokkan ekonomi dunia pada 1998.
Pada
tingkat negara-bangsa, anak manusia sedang berlomba beradu cepat menjadi bengis
di medan Perang Dunia Ketiga, Syam (Lebanon, Yordania, Palestina, Syria
[Suriah]). Sampai saat ini, hampir sekitar 80 negara dunia telah terlibat dalam
peperangan paling mematikan dalam sejarah umat manusia yang konon dimulai
dengan Arab Spring (Musim Semi Arab).
Benarkah begitu? Sayangnya, kami jawab sangat tidak benar!
Arab
tak pernah mengalami musim semi. Negeri berpadang pasir itu sepenuhnya berada di
bawah kendali Barat sejak duo Sykes-Picot mewakili Eropa sebagai benuanya,
mengangkangi Ottoman hanya dengan selembar kertas bertitimangsa 1916. Kami
telah menulis panjang lebar terkait soal ini dalam Airmata Darah Di Tanah Para Nabi. Bagi
Barat, Arab tak ubahnya Timur yang eksotik. Kata itu sengaja digunakan karena
memang mengandung konotasi negatif. Timur itu berbeda. Mereka tak ada di
manamana. Alam dan peri kehidupannya mistik. Sedikit realis dan banyak
magisnya. Pendek kata, Timur yang ajaib harus ditundukkan. Abracadabra!
Padahal
pada 13 Juni 1910 telah lebih dulu ada sosok Arthur James Balfour yang
berpidato di depan Majelis Rendah Inggris terkait masalah yang berhubungan
dengan pendudukan Inggris di Mesir.
Saya tidak bersikap superior.
Tapi saya minta (Robertson dan siapa saja)... yang memiliki ilmu sejarah—meski
sedikit—agar mereka sudi menoleh pada kenyataan yang harus dihadapi oleh
seorang negarawan Inggris ketika ia ditempatkan untuk mengurusi ras-ras besar
(seperti Mesir) dan bangsa-bangsa Timur. Pengetahuan kita tentang peradaban
Mesir lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan kita tentang peradaban negeri
lain. Kita mengetahui sejarah masa lalunya lebih dulu. Kita juga mengenalnya
dengan lebih akrab. Intinya, kita mengetahui lebih banyak tentang Mesir
daripada bangsa-bangsa lain. Perlu Anda ketahui, usia peradaban negeri sungai
Nil ini jauh melampaui rentangan kecil usia sejarah ras kita, yang baru saja
memasuki zaman pra sejarah ketika peradaban Mesir sudah melewati zaman
keemasannya. Tengoklah bangsa-bangsa di Timur. Jangan sok berbicara mengenai keunggulan atau keterbelakangan![iii]
Perang
di Suriah sekarang, bukan tak mungkin berujung pada kehancuran bersama
sebagaimana yang dinubuatkan oleh fisikawan mumpuni penggagas Teori Segalanya (Theory
of Everything), Stephen Hawking. Menurut fisikawan jebolan Universitas Cambridge
ini, agresi manusia akan mengancam dan menghancurkan kehidupannya sendiri.
Pernyataan tersebut terkait dengan hasrat manusia yang selalu ingin mengubah
sesuatu.
Ia
menyebutkan salah satu contoh agresi manusia terburuk dan paling keji ialah
perang nuklir yang gong perdananya telah ditalu oleh presiden Amerika, Harry S.
Truman di Gedung Putih. Ketika Litle Boy dan Fat Man, dua bom atom yang
dijatuhkan pada Agustus 1945 itu meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, 270
ribu-an orang Jepang, termasuk para ibu dan anak-anak, meregang nyawa.
Apa
yang kemudian dialami atau dirasakan Truman?
Ia,
sama sekali tak pernah menyesal. Ketika Oppenheimer, salah seorang perancang
bom atom mengatakan, "Pak Presiden, tangan saya berlumur darah,"
Truman malah menjawab ketus: "Tangankulah yang berlumur darah, dan biarlah
ini jadi urusanku. Kita baru saja menjadi saksi pembinasaan dunia yang dinubuatkan
di zaman Lembah Eufrat di masa Nabi Noah (Nuh as)."
Truman
tak pernah ragu. Ia tahu bahwa senjata itu sangat mengerikan, juga bagi masa
depan manusia. Ia juga tahu sejumlah jenderalnya, termasuk Eisenhower,
menganggap Amerika tak perlu menjatuhkan bom atom untuk menaklukkan Jepang, toh
Jepang sudah nyaris menyerah. Tapi Truman terus maju. Ia hanya mendengar
penasihat yang disukainya: mereka yang menyetujui pandangannya.
Maka
bom itu pun meledak. Sejak itu selama berpuluh tahun dunia dilanda ketakutan,
dan perlombaan senjata yang paling dahsyat dalam sejarah manusia, sedang menuju
sebuah kiamat (Goenawan, 2015). “Perang nuklir mungkin akan menjadi akhir
peradaban manusia,” ujar Hawking seperti diberitakan Livescience, Rabu, 25 Februari 2015.
Jalan menuju kiamat itu sedang "dibangun" di Timur Tengah sana, tepatnya di jantung negeri Syam, Syria (Suriah). Empat tahun usai Musim Semi Arab (2011), kehancuran, depresi, dan penderitaan massal adalah wajah Suriah hari ini. Pemerintahan Assad bergeming dari tuntutan rakyatnya. Tak ada tenggang rasa di sana. Tiada lagi rasa kemanusiaan. Sebagaimana yang dilansir Kompas pada Minggu, 15 Maret 2015 (h. 4), data jumlah korban jiwa dan kerugian sudah diluar nalar: 210.000 orang telah tewas, lebih dari 3,9 juta warga mengungsi ke negara lain, 14 juta anak terlunta, dan 7,6 warga terlantar di negeri sendiri. Satu generasi Suriah segera terputus dan, hilang. Ironis ...
Jalan menuju kiamat itu sedang "dibangun" di Timur Tengah sana, tepatnya di jantung negeri Syam, Syria (Suriah). Empat tahun usai Musim Semi Arab (2011), kehancuran, depresi, dan penderitaan massal adalah wajah Suriah hari ini. Pemerintahan Assad bergeming dari tuntutan rakyatnya. Tak ada tenggang rasa di sana. Tiada lagi rasa kemanusiaan. Sebagaimana yang dilansir Kompas pada Minggu, 15 Maret 2015 (h. 4), data jumlah korban jiwa dan kerugian sudah diluar nalar: 210.000 orang telah tewas, lebih dari 3,9 juta warga mengungsi ke negara lain, 14 juta anak terlunta, dan 7,6 warga terlantar di negeri sendiri. Satu generasi Suriah segera terputus dan, hilang. Ironis ...
Menuju Kehancuran
Bersama
DISADARI
atau tidak, peradaban kita sedang terjun bebas ke titik nadir. Sejak menjadi
antroposentrik, manusia mulai melatih diri memutus hubungan dengan dunia makro
(metafisik) yang “sulit dimengerti.” Kemenangan para pegiat Aristotelian,
Newtonian, Cartesian, dan Kantian dalam menggusur yang sakral (the sacred) dalam kehidupan abad modern,
ternyata berdampak serius pada peradaban manusia. Hari ini, kita bisa membuktikan
dan ikut menanggungnya.
Segala
yang non-fisik tak ilmiah. Maka wajar bila manusia cenderung sulit mengerti
betapa nun di belakang hidup kita, ada sesosok avatara yang bisa mengendalikan tanah, air, api, udara—yang
notabene adalah unsur tubuhnya sendiri. Sejatinya, itu bukan mitos. Tapi sangat
logos, bahkan pernah ada.
Masalah
manusia sekarang ada pada terputusnya hubungan antara ia, alam, dan tuhan. Barangkali
jika ditelusur, hanya tinggal segelintir saja dari manusia yang hidup di zaman
modern, bisa melakukan kontak komunikasi dengan; matahari, rembulan, angin,
ruang, waktu, tanah, lautan, api, hewan, tetumbuhan dan pepohonan, dll.
Sementara dalam saat bersamaan, manusia tak bisa menafikan peran serta mereka
dalam kehidupannya. Tanpa kerja cerdas tumbuhan memasak udara dari karbon
dioksida, manusia tinggal seonggok kerangka dibalut daging yang membusuk.
Dalam
Secret Life of The Plant karya Peter
Tompkinn & Christopher Bird (2008, h.3) tertulis, “Ketika tanah menjadi
kering, akarakar akan berpaling ke arah tanah yang lebih lembab, menemukan
jalan mereka ke dalam saluran yang terkubur dalam tanah, mengembang, dan dalam
kasus tanaman alfalfa rendah, ia mampu mengembang sejauh empat puluh kaki,
membangkitkan energi yang dapat melubangi tembok beton. Belum ada orang yang
menghitung jumlah akar sebatang pohon, tapi sebuah penelitian terhadap tanaman
gandum hitam menemukan jumlah total akar ada sekitar 13 juta dengan panjang
keseluruhan sekitar 380 mil. Pada setiap sulur akar ini terdapat bulubulu akar
yang halus, dan diperkirakan berjumlah sekitar 14 milyar dengan total panjang
sekitar 6.600 mil, hampir seukuran jarak dari kutub ke kutub bumi.”
Sungguh
luarbiasa!
Supaya
pembahasan terkait dunia yang centang prenang ini tak melebar, mari kita batasi
kajian seputar bagaimana seharusnya manusia menyikapi tanah dan tetumbuhan—dua
hal yang jelas sangat berdekatan dengan hidup manusia.
Diriwayatkan
dari al-Baihaqi, al-Buzari dan al-Darimi dari Ibn Umar r.a, katanya, “Pada
suatu hari kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Saw. Tetiba datang seorang
badui. Rasulullah pun bertanya, “Hendak ke mana engkau?” Jawabnya, “Mau menemui
keluargaku.” Berkata Rasulullah, “Maukah engkau saya tunjukkan sebuah
kebaikan?” Jawab badui itu, “Kebaikan apakah itu?” Jawab Rasulullah, “Supaya
engkau merasakan mengakui tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku (Muhammad)
adalah utusan-Nya.” Orang badui itu pun bertanya, “Apa tandanya engkau utusan
Allah?” Jawab beliau, “Tandanya adalah pohon yang berdiri di ujung lapangan
itu.”
Setelah orang badui itu melihat ke
arah pohon, tetiba pohon tersebut bergerak ke kiri dan kanan, ke depan dan ke
belakang, sehingga tercerabut akarakarnya, lalu melompatlompat menuju ke arah
Rasulullah Saw, dan akhirnya berdiri tegap di hadapan beliau. Lalu dengan suara
tegas pohon itu berkata, “Aku mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan-Nya.” Perkataan ini diulangi pohon itu sampai tiga kali.
Menyaksikan itu, si badui langsung bersyahadat dan pohon tersebut kembali ke
tempat semula dan terlihat biasa lagi. (Iskandar dalam Peter & Christopher,
2008).
Itu baru salah satu kisah
mengagumkan Nabi Muhammad Saw dengan pepohonan. Masih ada cerita yang lain. Dalam
Sejarah Madinah karya Dr. Nizar
Abazhah, 2009 (h. 51) terbitan Dar al-Fikr-Damascus-Syria, terdapat sebuah
kisah yang tak kalah mengesankan.
“Masjid
Nabi (Nabawi) waktu itu sebetulnya sebuah lapangan yang dilingkari tembok.
Beralaskan tanah, beratapkan langit. Di tengah masjid, sekarang ada dua ruang
dengan atap seperti payung yang bisa dibuka. Dahulu pada zaman Nabi, di tempat
itu ada pohon kurma. Bila Nabi berbicara di hadapan jamaah yang memenuhi
masjidnya, Beliau akan berdiri di bagian masjid paling depan, dan bersandar
pada batang pohon kurma itu, di sebelah kanan yang sekarang kita kenal sebagai
mihrab Nabi.
Pada
tahun ke-7 dan ke-8 Hijriyah, ketika kaum Muslim mulai membludak dan memadati
masjid, beberapa sahabat antara lain Sa'd ibn Ubadah dan Tamim al-Dari
mengusulkan agar dibuat tempat khusus untuk Nabi berdiri sehingga kelihatan
sampai ke belakang.
Maka
pada tahun itu pula Beliau mengirim utusan kepada seorang perempuan untuk
menyampaikan pesan: "suruhlah budak Najjarmu membuatkan aku penyangga
tempat aku duduk kala berbicara kepada orang banyak."
Titah
Nabi disambut dengan antusias oleh si Najjar. Dibuatlah sebuah mimbar dari
pohon tamaris ghabah. Setelah rampung, Nabi menunjuk tempat yang pas untuk meletakkannya.
Mimbar itu berundak tiga, dan nabi sering duduk di undakan ketiga.
Pada
suatu hari Jumat, setelah mimbar rampung dibuat, Beliau yang mulia keluar dari
pintu kamarnya. Lantas berjalan menuju mimbar, dengan melewati pohon kurma itu.
Ketika Beliau menaiki mimbar untuk berkhutbah, tetiba banyak orang mendengar
rintihan yang sangat memelas. Tangisan itu mengguncangkan tanah yang menjadi
alas masjid. Debu-debu dari tembok masjid berjatuhan. Suara tangisan itu makin
lama kian keras. Para sahabat pun ikut menangis, sambil tidak tahu dari mana
sumber tangisan itu.
Nabi
turun kembali dari mimbarnya. Beliau mendekati pohon kurma, lalu meletakkan
tangannya yang mulia pada batang kurma itu, mengusap, dan kemudian memeluknya.
Pelahan, suara tangisan itu mereda dan akhirnya tenang kembali.
Para
sahabat mendengar Nabi berbicara kepada pohon kurma itu, “Maukah kamu aku
pindahkan ke kebunmu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukmin
atau aku pindahkan kamu ke surga. Setiap akar kamu minum dari minuman surga,
lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu?” Rupanya kurma itu memilih
yang kedua, karena Nabi bersabda, “Af’al
insya Allah! Af’al insya Allah! Af’al insya Allah!” Kemudian Nabi bersabda,
“Demi Allah, yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau tidak aku tenangkan batang
kurma itu, dia akan terus merintih sampai hari kiamat karena kerinduannya
kepadaku.”
Dari Bumi ke Langit
DUA
kisah tentang bagaimana Nabi berkomunikasi secara diameteral dengan pepohonan,
jadi bukti betapa dunia kita hari ini telah jungkir balik. Alam atau lebih
mudahnya lingkungan sekitar kita, telah kehilangan pamor dan kehormatan di mata
manusia. Dunia kita tak lagi menaruh perhatian serius pada upaya penyelamatan
lingkungan dengan cara terpadu (permaculture).
Industri, adalah jalan pintas rusaknya wajah alam kita sekarang.
wajah Revolusi Industri |
Revolusi Industri yang bergolak
sedari Inggris pada dua abad lampau (1750-1850), menabung dampak serius yang
masih berlangsung hingga kini:
Dalam ranah ekonomi.
Dampak
Revolusi Industri dalam bidang ekonomi adalah munculnya pabrik-pabrik, lahirnya
pengusaha kaya, biaya produksi rendah sehingga harga barang dan upah buruh pun
anjlok, perdagangan dunia semakin maju, tumbuhnya kapitalisme industri yang
berpusat pada perseorangan, dan matinya industri rumah tangga.
Dalam ranah politik.
Munculnya
kaum borjuis, sebab kemajuan industri melahirkan orang-orang kaya baru yang
merupakan penguasa industri. Dari sinilah lahir imperialisme modern, yaitu
upaya mengembangkan imperialisme yang berlandaskan kekuatan ekonomi, mencari
tanah jajahan, bahan mentah serta mengembangkan pasar bagi industrinya. Gerakan
penjajahan terencana ini tersistematisasi dalam sistem demokrasi yang kelak
menemu jalan terang dengan kehdiran nasionalisme. Selain itu, liberalisme juga
pelahan merebak ke antero dunia—setelah awalnya hanya berkembang di Inggris
ketika berlangsung Revolusi Agraria dan Revolusi Industri. Dalam menentukan
kebijakan politik dan ekonomi Inggris, partai liberal sangat berpengaruh.
Dalam ranah sosial.
Akibat
berkembangnya industri, pusat pekerjaan berpindah ke kota. Terjadilah
urbanisasi besar-besaran ke kota. Para buruh tani pergi ke kota untuk menjadi
buruh pabrik. Kota-kota besar pun menjadi padat dan semakin sesak. Para buruh
hidup berjejalan di tempat tinggal yang kumuh dan kotor. Tidak hanya itu, dalam
pekerjaan, mereka menjadi objek pemerasan majikan. Buruh bekerja rata-rata 12
jam dalam sehari, namun tetap miskin. Kemiskinan berakibat langsung pada
meningkatnya kejahatan dan ketergantungan pada minuman keras. Dampak lain
adalah pengangguran, perempuan dan anak ikut bekerja, dan kurangnya jaminan
kesejahteraan.
Pengaruh
Revolusi Industri juga merembet sampai ke Indonesia. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa Revolusi Industri menimbulkan adanya imperialisme modern yang
bertujuan mencari bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar bagi hasil-hasil
produksi melalui perdagangan bebas yang kemudian melahirkan konsep liberalisme.
Hal ini berimbas pada negara-negara koloni, seperti juga wilayah-wilayah di
Asia yang menjadi jajahan bangsa Eropa. Termasuk Indonesia.
Ketika
Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal dari Inggris, berkuasa di Indonesia
(1811–1816), ia berupaya memperkenalkan prinsip-prinsip liberalisme di
Indonesia. Kebijakan yang diberlakukannya, antara lain, memperkenalkan sistem
ekonomi uang, memberlakukan pajak sewa tanah untuk memberi kepastian siapa
pemilik tanah, menghapus penyerahan wajib, menghapus kerja rodi, serta
menghapus perbudakan. Ketika Inggris menyerahkan Indonesia ke tangan Belanda,
dibuat perjanjian bahwa Belanda akan tetap memberlakukan perdagangan bebas.
Oleh
karena itu, banyak perusahaan Inggris yang berdiri di Indonesia. Satu di
antaranya, Lonsum.[iv]
Pengaruh Revolusi Industri juga sampai ke negeri Belanda dan memengaruhi sikap mereka
terhadap tanah jajahan. Politik imperialisme Belanda yang awalnya menggunakan tata
cara kuno, yaitu pemerasan, kekerasan, dan penyedotan kekayaan Indonesia di
kemudian hari, mendapat protes dari kaum humanis Belanda yang berpaham liberal,
seperti Max Havelaar (Mulatuli, nama pena Ernest Douwes Dekker). Maka muncullah
Politik Etis di Indonesia pada 1901.
Kemunculan
Politik Etis atau Politik Balas Budi yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft
(wartawan koran De Locomotief) dan
C.Th. van Deventer (politikus), bermaksud mengurusi tiga perkara:
Irigasi
(pengairan), membangun pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian koloni Belanda di Nusantara, agar komoditas yang mereka tanam bisa
melipatgandakan keuntungan bagi Kerajaan Belanda.
Emigrasi, yakni mengajak penduduk
bertransmigrasi dengan tujuan agar terjadi persebaran penduduk dan pemerataan
industri.
Edukasi, memperluas pengajaran dan
pendidikan. Targetnya, supaya lebih banyak tenaga kerja lokal yang bisa
diberdayakan untuk mengelola industri yang sedang dibangun dan dikembangkan.
Jadi
dengan demikian, Politik Etis tetap tinggal nama saja. Sebab pada kenyataannya,
bangsa Indonesia tetap berada dalam jerat yang sama dalam formasi berbeda. Upaya
pembaratan ini menuai hasil gemilang. Para petani sebagai contoh, secara
pelahan tapi pasti, mulai kehilangan haknya sebagai pemilik lahan. Termasuk
kemampuan mereka bercocok tanam yang telah dialihkan menjadi serba modern.
Kearifan lokal dalam bertani pun luntur satu demi satu. Hubungan harmonis
petani dengan tanah sawah dan ladangnya, raib ditelan kerakusan dan penindasan.
Bertani
bukan lagi sebuah laku mulia yang dialamatkan untuk memenuhi hajat hidup orang
banyak secara baik dan benar. Tanaman dianggap sebagi barang dagangan belaka
demi memenuhi hasrat meraup pundi kekayaan sebanyak mungkin. Sehingga
keberkahan dan kebaikan sebuah tanaman yang diciptakan Allah untuk mengabdi
pada manusia, tak lagi terasa. Proses ini, terus berlangsung hingga sekarang.
Wajar bila ada begitu banyak orang di negeri kita saja misalnya, yang tak lagi
bisa memahami apa bedanya makan untuk hidup atau hidup untuk makan.
Kotakota
yang terus tumbuh karena disokong oleh transmigrasi, memaksa begitu banyak
orang untuk berpindah ruang. Desa dianggap kuno dan tempatnya kekolotan.
Sementara kota dicitrakan sebagai simbol kemajuan zaman yang terus bergerak.
Segala anasir yang terjadi di dalamnya, dianggap sebagai dinamika pertumbuhan
semata. Bukan kemerosotan. Anakanak petani yang kehilangan penghormatan pada
sawah orangtuanya, juga kehilangan kemampuan bercocok tanam demi menghidupi
diri sendiri dengan kedua tangannya.
Mereka
terus berlomba dan bersusah payah menjadi warga kota. Sambil terus melupakan
kebaikan (thayyib) mengahasilkan
makanan bagi diri sendiri dan keluarganya. Mereka pun tak lagi peduli bagaimana
makanan itu telah tercemari begitu banyak kerusakan melalui pupuk kimia dan
cara mengolah tanah, dan betapa makanan yang kemudian diasupnya halal atau
tidak. Keberkahan hidup pun tak lagi menjadi tujuan utama. Bumi sebagai Ibu dan
Langit sebagai Bapak, tinggal kenangan.
Sekarang
mari kita telusuri apa sebenarnya makna kata halal itu sebenarnya. Dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani
mengatakan bahwa kata halal, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan wa halalan wa hulalan
yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan, memecahkan, membebaskan dan
membolehkan. Sedangkan secara terminologi, kata halal mempunyai arti hal-hal
yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang melarangnya, atau segala sesuatu yang bebas dari
bahaya duniawi dan keakhiratan.
Al-Jurjani
dalam kitab at-Ta’rifat menjelaskan
bahwa pada dasarnya, kata halal merujuk kepada dua arti. Pertama, kebolehan menggunakan bendabenda atau apa yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan jasmani seperti makanan, minuman dan obat-obatan. Kedua, kebolehan memanfaatkan, memakan,
meminum dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan ketetapan
nash.
Dalam
al-Quran, kata halal disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti
muamalah, kekeluargaan, perkawinan
dan terkait dengan masalah makanan, pun rezeki. Namun demikian, kata halal
tersebut lebih banyak digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman dan
rezeki. Keterangan tersebut antara lain bisa kita dapati dalam Surah
al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 4-5, 87-88, dan 96, Surah an-Nisa: 160, Surah
al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 69, Surah an-Nahl: 114, Surah at-Tahrim: 1, dan
Surah al-Hajj: 30.
Lantas
bagaimana pula dengan pengertian thayyib?
Dari segi bahasa, thayyib berarti,
lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama.
Kata
thayyib menurut al-Isfahani,
menunjukkan sesuatu yang benarbenar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari turunan kata
thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan
beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara
(suci dan bersih), jada wa hasuna
(baik dan elok), ladzdza (enak), dan
halal.
Menurut
al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh
indera dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan.
Sedangkan Ibn Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa, bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, ruhani, akal dan akhlak
manusia. Menurutnya, lawan dari kata thayyib
ini adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan
dan dapat merusak fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang.
Dalam
al-Quran, kata thayyib disebutkan beberapa
kali dalam bentuk berbeda. Terkait dengan makanan, al-Quran menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan dalam bentuk mufrad mudzakkar (maskulin tunggal)
sebanyak empat kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang
terdapat dalam Surah al-Baqarah: 168, al-Maidah: 88, al-Anfal: 69, dan an-Nahl:
114.
Sedangkan
yang tidak ada kaitannya dengan makanan, al-Quran menyebutkan kata thayyibah dalam bentuk mufrad muannats (feminin tunggal) pada
sembilan tempat, yaitu pada Surah Ali Imran: 38, at-Taubah: 72, Yunus: 22,
Ibrahim: 24 (dalam ayat ini disebut dua kali), an-Nahl: 97, an-Nur: 61, Saba’:
15, dan ash-Shaff: 12. Sebanyak dua kali dalam bentuk mufrad mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan al-Maidah: 6.
Dalam
bentuk jamaknya (thayyibat)
disebutkan sebanyak sepuluh kali dengan merujuk pada empat pengertian yaitu;
sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan dan sifat perempuan.
Seperti yang terdapat pada Surah al-Maidah: 4-5, al-A`raf: 157, al-Anfal: 26,
Yunus: 93, an-Nahl: 72, al-Isra: 70, al-Mu’minun: 51, Ghafir: 64 dan
al-Jatsiyah: 16.
Mengapa
perkara halal dan thayyib itu penting
bagi kita? Dalam suatu kesempatan, Sa`ad bin Abi Waqqash meminta kepada
Rasulullah Saw agar berdoa kepada Allah, minta dijadikan sebagai orang yang
doanya mudah dikabulkan oleh-Nya. Lalu, Rasul Saw berkata kepada Sa`ad,
“Perbaiki makanan yang engkau makan niscaya dirimu menjadi orang yang doanya
mudah dikabulkan Allah Swt.” (HR. Thabrani)
Sekarang
ini, hanya 55 persen kalori tanaman dunia dimakan manusia secara langsung;
sisanya menjadi pakan ternak (sekitar 36 persen) atau diubah menjadi bahan
bakar hayati dan produk industri (kira-kira sembilan persen). Meski banyak
orang makan daging, produk susu, dan telur dari hewan yang dipelihara di area
penggemukan, hanya sebagian kecil kalori dari pakan ternak yang sampai ke kita
melalui daging dan susu. Untuk setiap 100 kalori biji-bijian yang kita berikan
kepada hewan, kita hanya mendapat sekitar 40 kalori baru dari susu, 22 kalori
telur, 12 kalori ayam, 10 kalori babi, atau 3 kalori sapi. Jika kita mencari
cara yang lebih efisien untuk menghasilkan daging dan beralih ke pola makan
yang mengurangi daging—bahkan sekadar mengganti daging dari sapi yang makan
biji-bijian ke daging ayam, atau sapi yang makan rumput—sejumlah besar
makanan di seluruh dunia dapat kemudian dikonsumsi langsung oleh manusia. ( Jonathan, 2014)
Manusia
yang melupakan fitrahnya sebagai makhluk mulia, jelas akan terus melakukan
perusakan pada diri sendiri. Ia bahkan tak lagi mengerti bahwa kita diminta
oleh tuhan untuk membina dan menjalin hubungan mesra dengan alam, khususnya
bumi. Corak berpikir semacam ini sudah sangat sulit ditemukan dalam kehidupan
kita sekarang. Kecuali segelintir orang saja yang masih mau melakukannya dengan
susah payah. Satu di antara yang sedikit itu adalah Iskandar M. Waworuntu,
penggagas komunitas Bumi Langit di Imogiri, Bantul, Jogjakarta.Iskandar M. Waworuntu |
Nama
Bumi Langit digunakan sebagai pengejawantahan konsep habluminannas (hubungan baik dengan manusia) dan hablumminallah (hubungan baik dengan
tuhan). Meskipun manusia adalah makhluk Langit yang berjalan di bumi, tapi pada
ghalibnya manusia sekarang hidup di bumi. Ia memiliki tanggung jawab rasional,
moral, spiritual demi mengelola hidupnya.
Maka
tak heran dalam pleidoi Bumi Langit tertera keterangan berikut ini:
“Bumi Langit adalah sebuah
tempat di mana kita dapat melihat dan belajar mengenai pentingnya hubungan
mutual antara kehidupan manusia dengan
alam lingkungannya.
Dalam hubungan yang mutual ini, Manusia
memiliki tanggung jawab dan peran yang sangat penting dalam menjaga dan menata
lingkungan hidupnya agar selalu utuh dalam keseimbangan.
Di sini kami mendorong serta memfasilitasi agar
kesadaran akan peran dan tanggung jawab manusia tersebut timbul kembali.
Bumi Langit adalah tempat kebijaksanaan dan
keterampilan yang diwariskan dari tradisi-tradisi luhur kemanusiaan, yang dapat
kita pelajari dan terapkan kembali dalam kehidupan keseharian kita. Sebuah
tempat di mana teknologi modern hadir sebagai jalan keluar, bukan awal dari
permasalahan.
Tempat nilai etika (adab) yang baik menjadi landasan
dasar dalam hubungan antara Manusia dengan alam lingkungannya, juga Manusia
terhadap Manusia lain.
Bumi Langit adalah tempat pendekatan hidup
adalah kerja sama, bukan persaingan. Tempat yang menghadirkan kembali makna
kemanfaatan yang luas dan kearifan sebagai dasar dalam semua perencanaan dan
tindakan dalam kehidupan kita.”
Permakultur model Mandala di Bumi Langit |
Gas metana kotoran hewan dan manusia diolah jadi sumber energi di Bumi Langit |
Markisa yang sedang menanti dipetik |
Penduduk
Bumi Langit adalah mereka yang dengan kesadaran penuh menarik diri bahkan
meninggalkan kehidupan modern yang banal, lantas berupaya sekuat tenaga
menciptakan peri kehidupan terpadu melalui pertanian yang juga terpadu (permaculture) dan mandiri.
Permakultur
adalah cabang dari desain ekologi, teknik ekologi, desain lingkungan,
konstruksi dan pengelolaan sumber daya air terpadu yang mengembangkan
arsitektur berkelanjutan, regeneratif dan sistem pertanian bermodel ekosistem
alam. Istilah permaculture (sebagai
metode sistematis) pertama kali diciptakan oleh petani Australia, Bill Mollison
dan David Holmgren pada 1978. Permakultur semula disebut "pertanian
menetap" tetapi kemudian diperluas menjadi "budaya bertani permanen,"
seperti yang terlihat bahwa aspek sosial adalah sistem integral yang
benar-benar berkelanjutan. Proses penemuan Bill dan David ini diinspirasi oleh
filosofi pertanian alami a la Masanobu
Fukuoka.
Bill
Mollison sendiri menerjemahkan permakultur sebagai:
Permaculture
is a philosophy of working with, rather than against nature; of protracted and
thoughtful observation rather than protracted and thoughtless labor; and of
looking at plants and animals in all their functions, rather than treating any
area as a single product system.
Permakultur adalah filosofi bekerja tanpa melawan
alam; larut dalam pengamatan dan kebijaksanaan penggunaan tenaga; dan memandang
tanaman serta hewan pada semua fungsi mereka, dan tidak memperlakukan setiap
daerah sebagai sistem produk-tunggal.[v]
Kenapa
kami memilih Bumi Langit sebagai contoh dan purwarupa masyarakat baru? Sebab dibanding
sekian banyak komunitas sejenis di seantero dunia, prinsip yang mereka tawarkan
sangat rasional dan mudah diterapkan di banyak tempat dalam skala masyarakat
manusia Abad 21. Sila bandingkan dengan Zapatista, Taliban, atau ISIS di Timur
Tengah.
Sebagai
sebuah tawaran jalan keluar dari krisis akut modernisme, apa yang dikerjakan
oleh masyarakat Bumi Langit laik diapresiasi, digugu dan ditiru. Terlalu pelik
bagi kita untuk mencari pemecahan masalah genosida Afrika dan pengerdilan
bangsa kulit berwarna di Timur dunia oleh bangsa kulit putih (Barat) dengan
menggunakan senjata, kuman, dan baja (industri). Sebagaimana yang telah
diuraikan dengan baik oleh Jared Diamond dalam dua mahakaryanya, Gun, Germs & Steel (1997) dan Colapse (2005).
Terlalu berat kerja kita menuntut negara pendosa iklim seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Kazakhstan, Malaysia, Rusia, Iran, dan sialnya Indonesia, untuk bertanggungjawab pada umat manusia, atas kerusakan alam yang telah dan harus kita terima mentahmentah hari ini.
Terlalu berat kerja kita menuntut negara pendosa iklim seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Kazakhstan, Malaysia, Rusia, Iran, dan sialnya Indonesia, untuk bertanggungjawab pada umat manusia, atas kerusakan alam yang telah dan harus kita terima mentahmentah hari ini.
Kita
hanya membutuhkan sebuah langkah kecil yang sederhana, sebelum kita sampai pada
langkah yang kesekian dan sarat tantangan. Kita tak lagi punya pilihan untuk tidak
kembali pada alam, mencintai kehidupan, berbuat baik sebanyak mungkin kapan dan
di mana saja, serta ketundukan tanpa tedeng alingaling pada aturan Tuhan. (bersambung)
“Jika engkau berbuat baik kepada orang lain,
maka sesungguhnya engkau telah berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan apabila
engkau berbuat jahat kepada orang lain, sesungguhnya engkau telah menganiaya
dirimu sendiri.” (QS al-Israa [17]: 7)
Catatan Akhir:
[i]
Lanjutan dari karangan kami
sebelumnya, “Kehancuran Manusia Abad-21.”
[ii]
John Ralston Saul, The Collapse of Globalism and the
Reinventing of the World. Diterbitkan perdana oleh Penguin Books Kanada
pada 2005 dan juga serentak di Inggris, Prancis, India, Australia, Selandia
Baru, Bulgaria, Mesir, Tiongkok, Serbia, Amerika Serikat, Spanyol.
[iii]
Edward W. Said, Orientalism. Vintage Books, New York,
USA, 1978.
[iv] PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra
Indonesia Tbk, lebih dikenal sebagai Lonsum, berakar di London Harrisons &
Crossfield Plc sejak 1906 dengan inisiatif dari yang berbasis pada jasa
manajemen perusahaan perkebunan umum. Setelah melakukan peralihan ke
karet, teh dan kakao pada tahun-tahun awal, Lonsum kemudian berkonsentrasi pada
karet sepanjang Indonesia mulai dibentuk sebagai negara merdeka, dan baru memulai
produksi kelapa sawit pada 1980-an. Pada akhir dekade inilah, kelapa sawit
menggantikan karet sebagai komoditas utama perseroan.
38 perkebunan Lonsum inti (Perusahaan milik) dan 14
perkebunan plasma (petani rakyat), yang saat ini beroperasi di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, memanfaatkan penelitian dan pengembangan serta keahlian
agro-manajemen yang terampil dan tenaga kerja berpengalaman. Ruang lingkup
bisnis mereka pun diperluas; mencakup pembibitan, penanaman, pemanenan,
pengolahan, pemprosesan dan penjualan produk kelapa sawit, karet, kakao dan
teh. Saat ini Lonsum memiliki 20 pabrik yang beroperasi di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi.
Pada 1994, Harrisons & Crossfield menjual seluruh
kepemilikannya di PT Lonsum ke Pan London Sumatra Plantation (PPLS), yang mengambil
Lonsum publik dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya
pada 1996. Pada Oktober 2007, Indofood Agri Resources Ltd, lengan perkebunan PT
Indofood Sukses Makmur Tbk, menjadi pemegang saham mayoritas Lonsum melalui
anak perusahaannya di Indonesia, PT Salim Ivomas Pratama. Kini, kejahatan Perkebunan
London Sumatera, telah mengantarnya jadi salah satu perusahaan perkebunan
terkemuka di dunia, dengan hampir 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit,
karet, teh dan kakao ditanam tersebar di seluruh Indonesia.
[v]
Mollison, B. (1991). Introduction to Permaculture. Tasmania,
Australia: Tagari.
No comments:
Post a Comment