Zaman Abrakadabra dan Keruntuhan Dunia Modern[i]



 
Pendopo depan Bumi Langit

Lautan wujud mahaluas ini lahir dari kegelapan
Tak seorang pun tahu inti rahasianya di dalam
Tiap orang membual demi kepuasan dirinya
Namun siapa dia dan mengapa, tak seorang mau berkata.
~Omar Khayyam (1048-1131)

KETIKA tulisan ini kami susun, Indonesia masih disibukkan oleh gerakan #SaveKPK, #SavePolri. Keduanya memiliki pendukung fanatik. Kami, mengajukan saran yang lebih di tengah tapi menyeluruh: #SaveIndonesia. Seperti yang sudah kami paparkan dalam tulisan lain, Menyelamatkan Indonesia, adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Ya,  menyelamatkan negeri ini jauh lebih penting tinimbang runyam mengurus perbalahan KPK dan Kepolisian.

Pada hari Minggu lalu, 22 Februari 2015, tak dinyana kami dipertemukan ruang-waktu dengan catatan Bre Redana di harian Kompas yang berjudul  “Save” Zaman, tanpa tagar.

Tawaran Bre tersebut patut dicermati. Kendati menulis begitu singkat namun ia tak sedang berakrobat kata. Bre sedang getun sendiri. Mungkin juga nyinyir, sinis, dan satir, pada adab yang harus ia hidupi di senjakala usianya. Kami mencium nuansa itu, sarat dalam tulisannya yang bernas. Kita memang benarbenar harus menyelamatkan zaman yang sedang tunggang langgang ini.
Bre, adalah satu dari sedikit manusia mawas di negeri ini yang masih bisa kita andalkan buah pikiran dan perenungan batinnya.
Barangkali rekan pembaca sekalian tahu dan mengerti apa itu zaman edan. Pun seandainya tidak, jangan khawatir. Kami akan berusaha membantu Anda menemu jawabnya dengan mengajukan pertanyaan baru pada bagian lanjutan tulisan ini.
Gambaran kecil dari zaman edan itu bisa kita tilik dalam Charles Baudelaire: A Lyric Poet in the Era of High Capitalism: 1973, h. 71) karya Walter Benyamin. Di situ ia menulis, “pemerasan terhadap orangorang produktif demi... prinsip “kreativitas.” Apalagi, ketika orangorang produktif itu ternyata mampu menyuguhkan karyanya berdasarkan inisiatif dan pemikiran murninya sendiri.”
Google, Microsoft, Apple, Samsung, Facebook, Walt Disney, adalah beberapa nama korporasi global yang menuntut pekerjanya terus berada pada level tertinggi semangat kerjanya. Mereka dibayar mahal untuk itu. Meskipun yang mereka terima, tetap tak sebanding dengan apa yang mereka beri-hasilkan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Harga diri manusia kalah prestise dengan barang elektronik atau perangkat aplikasi teknologi informasi yang marak pada abad kita. Ada kemerosotan moral akut yang kita biarkan terjadi begitu saja. Diakui atau tidak, kehidupan manusia abad ini telah begitu rusak parah. Mereka yang paling kaya sedunia sekali pun, sama belaka dengan yang paling kere. Sama tak tahu mau dikemanakan arah hidupnya, diakhiri dengan cara bagaimana, dan dipertanggungjawabkan pada siapa?
Gerak pertumbuhan ekonomi dunia yang kian timpang, memaksa kita mengamini apa yang sedang terjadi di depan mata: kematian sistem kepercayaan. Ada begitu banyak kepercayaan yang harus rela tergerus oleh arus globalisasi yang di glokalkan. Ekonomi, dengan sekian banyak dalih kemajuannya, lantas tampil di garda depan masyarakat dunia sebagai agama baru tanpa nabi, tanpa kitab suci, tanpa tuhan.
Istilah yang lazim digunakan dunia modern seperti konvergensi hanyalah sebuah kata baru bagi gagasangagasan lama mengenai keutuhan vertikal: sebuah organisasi raksasa yang mengambil alih perindustrian dari puncak ke bawah dan dengan demikian melenyapkan persaingan dengan menentukan semua aspek pasar.[ii]
Lonsum, Merauke Integrated Food and Energy Estate, Cargill, Syngenta, Archer Daniel Midlands (ADM), Wanbao Africa Agricultural Development Company, Bayer, dan Monsanto, adalah segelintir contoh korporasi oligopoli yang melakukan konvergensi lahan pertanian dan penguasaan hasil olahannya di banyak negara Asia. Sistem operasi ekonomi satu untuk semua sungguh benar telah diterapkan pada masa kita sekarang. George Soros telah dengan terang melakukan itu ketika merontokkan ekonomi dunia pada 1998.   
Pada tingkat negara-bangsa, anak manusia sedang berlomba beradu cepat menjadi bengis di medan Perang Dunia Ketiga, Syam (Lebanon, Yordania, Palestina, Syria [Suriah]). Sampai saat ini, hampir sekitar 80 negara dunia telah terlibat dalam peperangan paling mematikan dalam sejarah umat manusia yang konon dimulai dengan Arab Spring (Musim Semi Arab). Benarkah begitu? Sayangnya, kami jawab sangat tidak benar!

Arab tak pernah mengalami musim semi. Negeri berpadang pasir itu sepenuhnya berada di bawah kendali Barat sejak duo Sykes-Picot mewakili Eropa sebagai benuanya, mengangkangi Ottoman hanya dengan selembar kertas bertitimangsa 1916. Kami telah menulis panjang lebar terkait soal ini dalam Airmata Darah Di Tanah Para Nabi. Bagi Barat, Arab tak ubahnya Timur yang eksotik. Kata itu sengaja digunakan karena memang mengandung konotasi negatif. Timur itu berbeda. Mereka tak ada di manamana. Alam dan peri kehidupannya mistik. Sedikit realis dan banyak magisnya. Pendek kata, Timur yang ajaib harus ditundukkan. Abracadabra!

Padahal pada 13 Juni 1910 telah lebih dulu ada sosok Arthur James Balfour yang berpidato di depan Majelis Rendah Inggris terkait masalah yang berhubungan dengan pendudukan Inggris di Mesir.
Saya tidak bersikap superior. Tapi saya minta (Robertson dan siapa saja)... yang memiliki ilmu sejarah—meski sedikit—agar mereka sudi menoleh pada kenyataan yang harus dihadapi oleh seorang negarawan Inggris ketika ia ditempatkan untuk mengurusi ras-ras besar (seperti Mesir) dan bangsa-bangsa Timur. Pengetahuan kita tentang peradaban Mesir lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan kita tentang peradaban negeri lain. Kita mengetahui sejarah masa lalunya lebih dulu. Kita juga mengenalnya dengan lebih akrab. Intinya, kita mengetahui lebih banyak tentang Mesir daripada bangsa-bangsa lain. Perlu Anda ketahui, usia peradaban negeri sungai Nil ini jauh melampaui rentangan kecil usia sejarah ras kita, yang baru saja memasuki zaman pra sejarah ketika peradaban Mesir sudah melewati zaman keemasannya. Tengoklah bangsa-bangsa di Timur. Jangan sok berbicara mengenai keunggulan atau keterbelakangan![iii]

Perang di Suriah sekarang, bukan tak mungkin berujung pada kehancuran bersama sebagaimana yang dinubuatkan oleh fisikawan mumpuni penggagas Teori Segalanya (Theory of Everything), Stephen Hawking. Menurut fisikawan jebolan Universitas Cambridge ini, agresi manusia akan mengancam dan menghancurkan kehidupannya sendiri. Pernyataan tersebut terkait dengan hasrat manusia yang selalu ingin mengubah sesuatu.
Ia menyebutkan salah satu contoh agresi manusia terburuk dan paling keji ialah perang nuklir yang gong perdananya telah ditalu oleh presiden Amerika, Harry S. Truman di Gedung Putih. Ketika Litle Boy dan Fat Man, dua bom atom yang dijatuhkan pada Agustus 1945 itu meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, 270 ribu-an orang Jepang, termasuk para ibu dan anak-anak, meregang nyawa.
Apa yang kemudian dialami atau dirasakan Truman?
Ia, sama sekali tak pernah menyesal. Ketika Oppenheimer, salah seorang perancang bom atom mengatakan, "Pak Presiden, tangan saya berlumur darah," Truman malah menjawab ketus: "Tangankulah yang berlumur darah, dan biarlah ini jadi urusanku. Kita baru saja menjadi saksi pembinasaan dunia yang dinubuatkan di zaman Lembah Eufrat di masa Nabi Noah (Nuh as)."
Truman tak pernah ragu. Ia tahu bahwa senjata itu sangat mengerikan, juga bagi masa depan manusia. Ia juga tahu sejumlah jenderalnya, termasuk Eisenhower, menganggap Amerika tak perlu menjatuhkan bom atom untuk menaklukkan Jepang, toh Jepang sudah nyaris menyerah. Tapi Truman terus maju. Ia hanya mendengar penasihat yang disukainya: mereka yang menyetujui pandangannya.
Maka bom itu pun meledak. Sejak itu selama berpuluh tahun dunia dilanda ketakutan, dan perlombaan senjata yang paling dahsyat dalam sejarah manusia, sedang menuju sebuah kiamat (Goenawan, 2015). “Perang nuklir mungkin akan menjadi akhir peradaban manusia,” ujar Hawking seperti diberitakan Livescience, Rabu, 25 Februari 2015.
Jalan menuju kiamat itu sedang "dibangun" di Timur Tengah sana, tepatnya di jantung negeri Syam, Syria (Suriah). Empat tahun usai Musim Semi Arab (2011), kehancuran, depresi, dan penderitaan massal adalah wajah Suriah hari ini. Pemerintahan Assad bergeming dari tuntutan rakyatnya. Tak ada tenggang rasa di sana. Tiada lagi rasa kemanusiaan. Sebagaimana yang dilansir Kompas pada Minggu, 15 Maret 2015 (h. 4), data jumlah korban jiwa dan kerugian sudah diluar nalar: 210.000 orang telah tewas, lebih dari 3,9 juta warga mengungsi ke negara lain, 14 juta anak terlunta, dan 7,6 warga terlantar di negeri sendiri. Satu generasi Suriah segera terputus dan, hilang. Ironis ...


Menuju Kehancuran Bersama
DISADARI atau tidak, peradaban kita sedang terjun bebas ke titik nadir. Sejak menjadi antroposentrik, manusia mulai melatih diri memutus hubungan dengan dunia makro (metafisik) yang “sulit dimengerti.” Kemenangan para pegiat Aristotelian, Newtonian, Cartesian, dan Kantian dalam menggusur yang sakral (the sacred) dalam kehidupan abad modern, ternyata berdampak serius pada peradaban manusia. Hari ini, kita bisa membuktikan dan ikut menanggungnya.
Segala yang non-fisik tak ilmiah. Maka wajar bila manusia cenderung sulit mengerti betapa nun di belakang hidup kita, ada sesosok avatara yang bisa mengendalikan tanah, air, api, udara—yang notabene adalah unsur tubuhnya sendiri. Sejatinya, itu bukan mitos. Tapi sangat logos, bahkan pernah ada.

Masalah manusia sekarang ada pada terputusnya hubungan antara ia, alam, dan tuhan. Barangkali jika ditelusur, hanya tinggal segelintir saja dari manusia yang hidup di zaman modern, bisa melakukan kontak komunikasi dengan; matahari, rembulan, angin, ruang, waktu, tanah, lautan, api, hewan, tetumbuhan dan pepohonan, dll. Sementara dalam saat bersamaan, manusia tak bisa menafikan peran serta mereka dalam kehidupannya. Tanpa kerja cerdas tumbuhan memasak udara dari karbon dioksida, manusia tinggal seonggok kerangka dibalut daging yang membusuk.

Dalam Secret Life of The Plant karya Peter Tompkinn & Christopher Bird (2008, h.3) tertulis, “Ketika tanah menjadi kering, akarakar akan berpaling ke arah tanah yang lebih lembab, menemukan jalan mereka ke dalam saluran yang terkubur dalam tanah, mengembang, dan dalam kasus tanaman alfalfa rendah, ia mampu mengembang sejauh empat puluh kaki, membangkitkan energi yang dapat melubangi tembok beton. Belum ada orang yang menghitung jumlah akar sebatang pohon, tapi sebuah penelitian terhadap tanaman gandum hitam menemukan jumlah total akar ada sekitar 13 juta dengan panjang keseluruhan sekitar 380 mil. Pada setiap sulur akar ini terdapat bulubulu akar yang halus, dan diperkirakan berjumlah sekitar 14 milyar dengan total panjang sekitar 6.600 mil, hampir seukuran jarak dari kutub ke kutub bumi.”
Sungguh luarbiasa!

Supaya pembahasan terkait dunia yang centang prenang ini tak melebar, mari kita batasi kajian seputar bagaimana seharusnya manusia menyikapi tanah dan tetumbuhan—dua hal yang jelas sangat berdekatan dengan hidup manusia. 

Diriwayatkan dari al-Baihaqi, al-Buzari dan al-Darimi dari Ibn Umar r.a, katanya, “Pada suatu hari kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Saw. Tetiba datang seorang badui. Rasulullah pun bertanya, “Hendak ke mana engkau?” Jawabnya, “Mau menemui keluargaku.” Berkata Rasulullah, “Maukah engkau saya tunjukkan sebuah kebaikan?” Jawab badui itu, “Kebaikan apakah itu?” Jawab Rasulullah, “Supaya engkau merasakan mengakui tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah utusan-Nya.” Orang badui itu pun bertanya, “Apa tandanya engkau utusan Allah?” Jawab beliau, “Tandanya adalah pohon yang berdiri di ujung lapangan itu.”
           
           Setelah orang badui itu melihat ke arah pohon, tetiba pohon tersebut bergerak ke kiri dan kanan, ke depan dan ke belakang, sehingga tercerabut akarakarnya, lalu melompatlompat menuju ke arah Rasulullah Saw, dan akhirnya berdiri tegap di hadapan beliau. Lalu dengan suara tegas pohon itu berkata, “Aku mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.” Perkataan ini diulangi pohon itu sampai tiga kali. Menyaksikan itu, si badui langsung bersyahadat dan pohon tersebut kembali ke tempat semula dan terlihat biasa lagi. (Iskandar dalam Peter & Christopher, 2008).
           
         Itu baru salah satu kisah mengagumkan Nabi Muhammad Saw dengan pepohonan. Masih ada cerita yang lain. Dalam Sejarah Madinah karya Dr. Nizar Abazhah, 2009 (h. 51) terbitan Dar al-Fikr-Damascus-Syria, terdapat sebuah kisah yang tak kalah mengesankan.

“Masjid Nabi (Nabawi) waktu itu sebetulnya sebuah lapangan yang dilingkari tembok. Beralaskan tanah, beratapkan langit. Di tengah masjid, sekarang ada dua ruang dengan atap seperti payung yang bisa dibuka. Dahulu pada zaman Nabi, di tempat itu ada pohon kurma. Bila Nabi berbicara di hadapan jamaah yang memenuhi masjidnya, Beliau akan berdiri di bagian masjid paling depan, dan bersandar pada batang pohon kurma itu, di sebelah kanan yang sekarang kita kenal sebagai mihrab Nabi.

Pada tahun ke-7 dan ke-8 Hijriyah, ketika kaum Muslim mulai membludak dan memadati masjid, beberapa sahabat antara lain Sa'd ibn Ubadah dan Tamim al-Dari mengusulkan agar dibuat tempat khusus untuk Nabi berdiri sehingga kelihatan sampai ke belakang.
Maka pada tahun itu pula Beliau mengirim utusan kepada seorang perempuan untuk menyampaikan pesan: "suruhlah budak Najjarmu membuatkan aku penyangga tempat aku duduk kala berbicara kepada orang banyak."
Titah Nabi disambut dengan antusias oleh si Najjar. Dibuatlah sebuah mimbar dari pohon tamaris ghabah. Setelah rampung, Nabi menunjuk tempat yang pas untuk meletakkannya. Mimbar itu berundak tiga, dan nabi sering duduk di undakan ketiga.

Pada suatu hari Jumat, setelah mimbar rampung dibuat, Beliau yang mulia keluar dari pintu kamarnya. Lantas berjalan menuju mimbar, dengan melewati pohon kurma itu. Ketika Beliau menaiki mimbar untuk berkhutbah, tetiba banyak orang mendengar rintihan yang sangat memelas. Tangisan itu mengguncangkan tanah yang menjadi alas masjid. Debu-debu dari tembok masjid berjatuhan. Suara tangisan itu makin lama kian keras. Para sahabat pun ikut menangis, sambil tidak tahu dari mana sumber tangisan itu.

Nabi turun kembali dari mimbarnya. Beliau mendekati pohon kurma, lalu meletakkan tangannya yang mulia pada batang kurma itu, mengusap, dan kemudian memeluknya. Pelahan, suara tangisan itu mereda dan akhirnya tenang kembali.

Para sahabat mendengar Nabi berbicara kepada pohon kurma itu, “Maukah kamu aku pindahkan ke kebunmu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukmin atau aku pindahkan kamu ke surga. Setiap akar kamu minum dari minuman surga, lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu?” Rupanya kurma itu memilih yang kedua, karena Nabi bersabda, “Af’al insya Allah! Af’al insya Allah! Af’al insya Allah!” Kemudian Nabi bersabda, “Demi Allah, yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau tidak aku tenangkan batang kurma itu, dia akan terus merintih sampai hari kiamat karena kerinduannya kepadaku.”


Dari Bumi ke Langit
DUA kisah tentang bagaimana Nabi berkomunikasi secara diameteral dengan pepohonan, jadi bukti betapa dunia kita hari ini telah jungkir balik. Alam atau lebih mudahnya lingkungan sekitar kita, telah kehilangan pamor dan kehormatan di mata manusia. Dunia kita tak lagi menaruh perhatian serius pada upaya penyelamatan lingkungan dengan cara terpadu (permaculture). Industri, adalah jalan pintas rusaknya wajah alam kita sekarang.


wajah Revolusi Industri
       
       Revolusi Industri yang bergolak sedari Inggris pada dua abad lampau (1750-1850), menabung dampak serius yang masih berlangsung hingga kini:

Dalam ranah ekonomi.
Dampak Revolusi Industri dalam bidang ekonomi adalah munculnya pabrik-pabrik, lahirnya pengusaha kaya, biaya produksi rendah sehingga harga barang dan upah buruh pun anjlok, perdagangan dunia semakin maju, tumbuhnya kapitalisme industri yang berpusat pada perseorangan, dan matinya industri rumah tangga.

Dalam ranah politik.
Munculnya kaum borjuis, sebab kemajuan industri melahirkan orang-orang kaya baru yang merupakan penguasa industri. Dari sinilah lahir imperialisme modern, yaitu upaya mengembangkan imperialisme yang berlandaskan kekuatan ekonomi, mencari tanah jajahan, bahan mentah serta mengembangkan pasar bagi industrinya. Gerakan penjajahan terencana ini tersistematisasi dalam sistem demokrasi yang kelak menemu jalan terang dengan kehdiran nasionalisme. Selain itu, liberalisme juga pelahan merebak ke antero dunia—setelah awalnya hanya berkembang di Inggris ketika berlangsung Revolusi Agraria dan Revolusi Industri. Dalam menentukan kebijakan politik dan ekonomi Inggris, partai liberal sangat berpengaruh.

Dalam ranah sosial.
Akibat berkembangnya industri, pusat pekerjaan berpindah ke kota. Terjadilah urbanisasi besar-besaran ke kota. Para buruh tani pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik. Kota-kota besar pun menjadi padat dan semakin sesak. Para buruh hidup berjejalan di tempat tinggal yang kumuh dan kotor. Tidak hanya itu, dalam pekerjaan, mereka menjadi objek pemerasan majikan. Buruh bekerja rata-rata 12 jam dalam sehari, namun tetap miskin. Kemiskinan berakibat langsung pada meningkatnya kejahatan dan ketergantungan pada minuman keras. Dampak lain adalah pengangguran, perempuan dan anak ikut bekerja, dan kurangnya jaminan kesejahteraan.

Pengaruh Revolusi Industri juga merembet sampai ke Indonesia. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Revolusi Industri menimbulkan adanya imperialisme modern yang bertujuan mencari bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar bagi hasil-hasil produksi melalui perdagangan bebas yang kemudian melahirkan konsep liberalisme. Hal ini berimbas pada negara-negara koloni, seperti juga wilayah-wilayah di Asia yang menjadi jajahan bangsa Eropa. Termasuk Indonesia.
Ketika Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal dari Inggris, berkuasa di Indonesia (1811–1816), ia berupaya memperkenalkan prinsip-prinsip liberalisme di Indonesia. Kebijakan yang diberlakukannya, antara lain, memperkenalkan sistem ekonomi uang, memberlakukan pajak sewa tanah untuk memberi kepastian siapa pemilik tanah, menghapus penyerahan wajib, menghapus kerja rodi, serta menghapus perbudakan. Ketika Inggris menyerahkan Indonesia ke tangan Belanda, dibuat perjanjian bahwa Belanda akan tetap memberlakukan perdagangan bebas.

Oleh karena itu, banyak perusahaan Inggris yang berdiri di Indonesia. Satu di antaranya, Lonsum.[iv] Pengaruh Revolusi Industri juga sampai ke negeri Belanda dan memengaruhi sikap mereka terhadap tanah jajahan. Politik imperialisme Belanda yang awalnya menggunakan tata cara kuno, yaitu pemerasan, kekerasan, dan penyedotan kekayaan Indonesia di kemudian hari, mendapat protes dari kaum humanis Belanda yang berpaham liberal, seperti Max Havelaar (Mulatuli, nama pena Ernest Douwes Dekker). Maka muncullah Politik Etis di Indonesia pada 1901.
Kemunculan Politik Etis atau Politik Balas Budi yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus), bermaksud mengurusi tiga perkara:
Irigasi (pengairan), membangun pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian koloni Belanda di Nusantara, agar komoditas yang mereka tanam bisa melipatgandakan keuntungan bagi Kerajaan Belanda.
    Emigrasi, yakni mengajak penduduk bertransmigrasi dengan tujuan agar terjadi persebaran penduduk dan pemerataan industri.
    Edukasi, memperluas pengajaran dan pendidikan. Targetnya, supaya lebih banyak tenaga kerja lokal yang bisa diberdayakan untuk mengelola industri yang sedang dibangun dan dikembangkan.

Jadi dengan demikian, Politik Etis tetap tinggal nama saja. Sebab pada kenyataannya, bangsa Indonesia tetap berada dalam jerat yang sama dalam formasi berbeda. Upaya pembaratan ini menuai hasil gemilang. Para petani sebagai contoh, secara pelahan tapi pasti, mulai kehilangan haknya sebagai pemilik lahan. Termasuk kemampuan mereka bercocok tanam yang telah dialihkan menjadi serba modern. Kearifan lokal dalam bertani pun luntur satu demi satu. Hubungan harmonis petani dengan tanah sawah dan ladangnya, raib ditelan kerakusan dan penindasan. 

Bertani bukan lagi sebuah laku mulia yang dialamatkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak secara baik dan benar. Tanaman dianggap sebagi barang dagangan belaka demi memenuhi hasrat meraup pundi kekayaan sebanyak mungkin. Sehingga keberkahan dan kebaikan sebuah tanaman yang diciptakan Allah untuk mengabdi pada manusia, tak lagi terasa. Proses ini, terus berlangsung hingga sekarang. Wajar bila ada begitu banyak orang di negeri kita saja misalnya, yang tak lagi bisa memahami apa bedanya makan untuk hidup atau hidup untuk makan.

Kotakota yang terus tumbuh karena disokong oleh transmigrasi, memaksa begitu banyak orang untuk berpindah ruang. Desa dianggap kuno dan tempatnya kekolotan. Sementara kota dicitrakan sebagai simbol kemajuan zaman yang terus bergerak. Segala anasir yang terjadi di dalamnya, dianggap sebagai dinamika pertumbuhan semata. Bukan kemerosotan. Anakanak petani yang kehilangan penghormatan pada sawah orangtuanya, juga kehilangan kemampuan bercocok tanam demi menghidupi diri sendiri dengan kedua tangannya.

Mereka terus berlomba dan bersusah payah menjadi warga kota. Sambil terus melupakan kebaikan (thayyib) mengahasilkan makanan bagi diri sendiri dan keluarganya. Mereka pun tak lagi peduli bagaimana makanan itu telah tercemari begitu banyak kerusakan melalui pupuk kimia dan cara mengolah tanah, dan betapa makanan yang kemudian diasupnya halal atau tidak. Keberkahan hidup pun tak lagi menjadi tujuan utama. Bumi sebagai Ibu dan Langit sebagai Bapak, tinggal kenangan.

Sekarang mari kita telusuri apa sebenarnya makna kata halal itu sebenarnya. Dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa kata halal, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan wa halalan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan, memecahkan, membebaskan dan membolehkan. Sedangkan secara terminologi, kata halal mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya, atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan keakhiratan.

Al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat menjelaskan bahwa pada dasarnya, kata halal merujuk kepada dua arti. Pertama, kebolehan menggunakan bendabenda atau apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani seperti makanan, minuman dan obat-obatan. Kedua, kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan ketetapan nash.

Dalam al-Quran, kata halal disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti muamalah, kekeluargaan, perkawinan dan terkait dengan masalah makanan, pun rezeki. Namun demikian, kata halal tersebut lebih banyak digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki. Keterangan tersebut antara lain bisa kita dapati dalam Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 4-5, 87-88, dan 96, Surah an-Nisa: 160, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 69, Surah an-Nahl: 114, Surah at-Tahrim: 1, dan Surah al-Hajj: 30.

Lantas bagaimana pula dengan pengertian thayyib? Dari segi bahasa, thayyib berarti, lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama.
Kata thayyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benarbenar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari turunan kata thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak), dan halal.

Menurut al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indera dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan Ibn Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa, bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, ruhani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan dari kata thayyib ini adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang.

Dalam al-Quran, kata thayyib disebutkan beberapa kali dalam bentuk berbeda. Terkait dengan makanan, al-Quran menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan dalam bentuk mufrad mudzakkar (maskulin tunggal) sebanyak empat kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam Surah al-Baqarah: 168, al-Maidah: 88, al-Anfal: 69, dan an-Nahl: 114.

Sedangkan yang tidak ada kaitannya dengan makanan, al-Quran menyebutkan kata thayyibah dalam bentuk mufrad muannats (feminin tunggal) pada sembilan tempat, yaitu pada Surah Ali Imran: 38, at-Taubah: 72, Yunus: 22, Ibrahim: 24 (dalam ayat ini disebut dua kali), an-Nahl: 97, an-Nur: 61, Saba’: 15, dan ash-Shaff: 12. Sebanyak dua kali dalam bentuk mufrad mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan al-Maidah: 6.

Dalam bentuk jamaknya (thayyibat) disebutkan sebanyak sepuluh kali dengan merujuk pada empat pengertian yaitu; sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan dan sifat perempuan. Seperti yang terdapat pada Surah al-Maidah: 4-5, al-A`raf: 157, al-Anfal: 26, Yunus: 93, an-Nahl: 72, al-Isra: 70, al-Mu’minun: 51, Ghafir: 64 dan al-Jatsiyah: 16.

Mengapa perkara halal dan thayyib itu penting bagi kita? Dalam suatu kesempatan, Sa`ad bin Abi Waqqash meminta kepada Rasulullah Saw agar berdoa kepada Allah, minta dijadikan sebagai orang yang doanya mudah dikabulkan oleh-Nya. Lalu, Rasul Saw berkata kepada Sa`ad, “Perbaiki makanan yang engkau makan niscaya dirimu menjadi orang yang doanya mudah dikabulkan Allah Swt.” (HR. Thabrani)


Sekarang ini, hanya 55 persen kalori tanaman dunia dimakan manusia secara langsung; sisanya menjadi pakan ternak (sekitar 36 persen) atau diubah menjadi bahan bakar hayati dan produk industri (kira-kira sembilan persen). Meski banyak orang makan daging, produk susu, dan telur dari hewan yang dipelihara di area penggemukan, hanya sebagian kecil kalori dari pakan ternak yang sampai ke kita melalui daging dan susu. Untuk setiap 100 kalori biji-bijian yang kita berikan kepada hewan, kita hanya mendapat sekitar 40 kalori baru dari susu, 22 kalori telur, 12 kalori ayam, 10 kalori babi, atau 3 kalori sapi. Jika kita mencari cara yang lebih efisien untuk menghasilkan daging dan beralih ke pola makan yang mengurangi daging—bahkan sekadar mengganti daging dari sapi yang makan biji-bijian ke daging ayam,  atau sapi yang makan rumput—sejumlah besar makanan di seluruh dunia dapat kemudian dikonsumsi langsung oleh manusia. (Jonathan, 2014)
 Manusia yang melupakan fitrahnya sebagai makhluk mulia, jelas akan terus melakukan perusakan pada diri sendiri. Ia bahkan tak lagi mengerti bahwa kita diminta oleh tuhan untuk membina dan menjalin hubungan mesra dengan alam, khususnya bumi. Corak berpikir semacam ini sudah sangat sulit ditemukan dalam kehidupan kita sekarang. Kecuali segelintir orang saja yang masih mau melakukannya dengan susah payah. Satu di antara yang sedikit itu adalah Iskandar M. Waworuntu, penggagas komunitas Bumi Langit di Imogiri, Bantul, Jogjakarta.

Iskandar M. Waworuntu

Nama Bumi Langit digunakan sebagai pengejawantahan konsep habluminannas (hubungan baik dengan manusia) dan hablumminallah (hubungan baik dengan tuhan). Meskipun manusia adalah makhluk Langit yang berjalan di bumi, tapi pada ghalibnya manusia sekarang hidup di bumi. Ia memiliki tanggung jawab rasional, moral, spiritual demi mengelola hidupnya.

Maka tak heran dalam pleidoi Bumi Langit tertera keterangan berikut ini:
Bumi Langit adalah sebuah tempat di mana kita dapat melihat dan belajar mengenai pentingnya hubungan mutual antara kehidupan  manusia dengan alam lingkungannya.
Dalam hubungan yang mutual ini, Manusia memiliki tanggung jawab dan peran yang sangat penting dalam menjaga dan menata lingkungan hidupnya agar selalu utuh dalam keseimbangan.
Di sini kami mendorong serta memfasilitasi agar kesadaran akan peran dan tanggung jawab manusia tersebut timbul kembali.
Bumi Langit adalah tempat kebijaksanaan dan keterampilan yang diwariskan dari tradisi-tradisi luhur kemanusiaan, yang dapat kita pelajari dan terapkan kembali dalam kehidupan keseharian kita. Sebuah tempat di mana teknologi modern hadir sebagai jalan keluar, bukan awal dari permasalahan.
Tempat nilai etika (adab) yang baik menjadi landasan dasar dalam hubungan antara Manusia dengan alam lingkungannya, juga Manusia terhadap Manusia lain.
Bumi Langit adalah tempat pendekatan hidup adalah kerja sama, bukan persaingan.     Tempat yang menghadirkan kembali makna kemanfaatan yang luas dan kearifan sebagai dasar dalam semua perencanaan dan tindakan dalam kehidupan kita.”


Permakultur model Mandala di Bumi Langit 

Gas metana kotoran hewan dan manusia diolah jadi sumber energi di Bumi Langit

Markisa yang sedang menanti dipetik 


Penduduk Bumi Langit adalah mereka yang dengan kesadaran penuh menarik diri bahkan meninggalkan kehidupan modern yang banal, lantas berupaya sekuat tenaga menciptakan peri kehidupan terpadu melalui pertanian yang juga terpadu (permaculture) dan mandiri.

Permakultur adalah cabang dari desain ekologi, teknik ekologi, desain lingkungan, konstruksi dan pengelolaan sumber daya air terpadu yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan, regeneratif dan sistem pertanian bermodel ekosistem alam. Istilah permaculture (sebagai metode sistematis) pertama kali diciptakan oleh petani Australia, Bill Mollison dan David Holmgren pada 1978. Permakultur semula disebut "pertanian menetap" tetapi kemudian diperluas menjadi "budaya bertani permanen," seperti yang terlihat bahwa aspek sosial adalah sistem integral yang benar-benar berkelanjutan. Proses penemuan Bill dan David ini diinspirasi oleh filosofi pertanian alami a la Masanobu Fukuoka.

Bill Mollison sendiri menerjemahkan permakultur sebagai:
Permaculture is a philosophy of working with, rather than against nature; of protracted and thoughtful observation rather than protracted and thoughtless labor; and of looking at plants and animals in all their functions, rather than treating any area as a single product system.
Permakultur adalah filosofi bekerja tanpa melawan alam; larut dalam pengamatan dan kebijaksanaan penggunaan tenaga; dan memandang tanaman serta hewan pada semua fungsi mereka, dan tidak memperlakukan setiap daerah sebagai sistem produk-tunggal.[v]

Kenapa kami memilih Bumi Langit sebagai contoh dan purwarupa masyarakat baru? Sebab dibanding sekian banyak komunitas sejenis di seantero dunia, prinsip yang mereka tawarkan sangat rasional dan mudah diterapkan di banyak tempat dalam skala masyarakat manusia Abad 21. Sila bandingkan dengan Zapatista, Taliban, atau ISIS di Timur Tengah.

Sebagai sebuah tawaran jalan keluar dari krisis akut modernisme, apa yang dikerjakan oleh masyarakat Bumi Langit laik diapresiasi, digugu dan ditiru. Terlalu pelik bagi kita untuk mencari pemecahan masalah genosida Afrika dan pengerdilan bangsa kulit berwarna di Timur dunia oleh bangsa kulit putih (Barat) dengan menggunakan senjata, kuman, dan baja (industri). Sebagaimana yang telah diuraikan dengan baik oleh Jared Diamond dalam dua mahakaryanya, Gun, Germs & Steel (1997) dan Colapse (2005). 

        Terlalu berat kerja kita menuntut negara pendosa iklim seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Kazakhstan, Malaysia, Rusia, Iran, dan sialnya Indonesia, untuk bertanggungjawab pada umat manusia, atas kerusakan alam yang telah dan harus kita terima mentahmentah hari ini.

Kita hanya membutuhkan sebuah langkah kecil yang sederhana, sebelum kita sampai pada langkah yang kesekian dan sarat tantangan. Kita tak lagi punya pilihan untuk tidak kembali pada alam, mencintai kehidupan, berbuat baik sebanyak mungkin kapan dan di mana saja, serta ketundukan tanpa tedeng alingaling pada aturan Tuhan. (bersambung)

 “Jika engkau berbuat baik kepada orang lain, maka sesungguhnya engkau telah berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan apabila engkau berbuat jahat kepada orang lain, sesungguhnya engkau telah menganiaya dirimu sendiri.” (QS al-Israa [17]: 7)





Catatan Akhir:


[i] Lanjutan dari karangan kami sebelumnya, “Kehancuran Manusia Abad-21.”
[ii] John Ralston Saul, The Collapse of Globalism and the Reinventing of the World. Diterbitkan perdana oleh Penguin Books Kanada pada 2005 dan juga serentak di Inggris, Prancis, India, Australia, Selandia Baru, Bulgaria, Mesir, Tiongkok, Serbia, Amerika Serikat, Spanyol.
[iii] Edward W. Said, Orientalism. Vintage Books, New York, USA, 1978.
[iv] PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk, lebih dikenal sebagai Lonsum, berakar di London Harrisons & Crossfield Plc sejak 1906 dengan inisiatif dari yang berbasis pada jasa manajemen perusahaan perkebunan umum. Setelah melakukan peralihan ke karet, teh dan kakao pada tahun-tahun awal, Lonsum kemudian berkonsentrasi pada karet sepanjang Indonesia mulai dibentuk sebagai negara merdeka, dan baru memulai produksi kelapa sawit pada 1980-an. Pada akhir dekade inilah, kelapa sawit menggantikan karet sebagai komoditas utama perseroan.
38 perkebunan Lonsum inti (Perusahaan milik) dan 14 perkebunan plasma (petani rakyat), yang saat ini beroperasi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, memanfaatkan penelitian dan pengembangan serta keahlian agro-manajemen yang terampil dan tenaga kerja berpengalaman. Ruang lingkup bisnis mereka pun diperluas; mencakup pembibitan, penanaman, pemanenan, pengolahan, pemprosesan dan penjualan produk kelapa sawit, karet, kakao dan teh. Saat ini Lonsum memiliki 20 pabrik yang beroperasi di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Pada 1994, Harrisons & Crossfield menjual seluruh kepemilikannya di PT Lonsum ke Pan London Sumatra Plantation (PPLS), yang mengambil Lonsum publik dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada 1996. Pada Oktober 2007, Indofood Agri Resources Ltd, lengan perkebunan PT Indofood Sukses Makmur Tbk, menjadi pemegang saham mayoritas Lonsum melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT Salim Ivomas Pratama. Kini, kejahatan Perkebunan London Sumatera, telah mengantarnya jadi salah satu perusahaan perkebunan terkemuka di dunia, dengan hampir 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit, karet, teh dan kakao ditanam tersebar di seluruh Indonesia.
[v] Mollison, B. (1991). Introduction to Permaculture. Tasmania, Australia: Tagari.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews