Tuhan Menyunting Misteri dalam Puisi




ADA begitu banyak misteri hidup ini yang selalu ingin kita pecahkan. Meski pada ghalibnya, masih begitu banyak yang tak pernah dan bisa kita mengerti. Semakin kita tahu, bertambah pula ketidaktahuan kita pada sesuatu itu. Apa dan bagaimana pun bentuk keingintahuan kita. Padahal ada segelintir orang memercayai, hidup hanya butuh dijalani, bukan dimengerti.

Seorang tokoh besar sejarah, malah lahir dari keluarga paling melarat dalam masyarakatnya. Seorang jenius mumpuni, sama sekali tak beroleh prestasi apa pun semasa sekolahnya. Sebuah negara raksasa dan adidaya di Andalusia, dibentuk oleh seorang pejuang pelarian dari Damaskus. Hidup bisa mengangkat derajat manusia paling rendah ke puncak tertinggi, tanpa bisa kita pahami. Anak kumuh yang tumbuh di bantaran kali Solo sekira lima dekade lalu, kini duduk dikursi kepresidenan negeri Khatulistiwa.

            Jadi apa sih misteri itu sejatinya? Menjawab pertanyaan ini memang agak sulit dan lucu. Kalau saya berhasil menjawabnya, berarti misteri telah lenyap. Sebab ia (misteri) telah terjawab. Misteri baru bisa disebut dengan beberapa prasyarat: serta-merta, tak direncanakan manusia, melampaui logika, tak membutuhkan hukum sebab-akibat, bergerak sesukanya sendiri.

            Begitulah yang terjadi pada saya sekira tahun 2012 lalu. Seorang karib mengabarkan pada saya perihal sebuah nama yang meski baru saja didengar tapi tak asing di telinga. Nama itu pun ia beroleh dari salah sebuah jejaring sosial. Berbekal rasa penasaran yang tinggi, saya membuka situs pemutar musik lantas menonton dan mendengar seseorang dalam klip video itu menyanyikan lagu berjudul “Samudra Debu” yang digubah dan dinyanyikan sendiri oleh penciptanya, Candra Malik.

            Sepanjang telinga ini ada bersama saya selama tiga puluh tahun lebih, rasanya baru itulah kali pertama ada seorang pelantun lagu reliji Indonesia yang berhasil mengawinkan nada dengan lirik. Antara bebunyian dengan ketukan. Antara akal dan hati. Padahal lagu itu jauh dari rumit secara pengunaan tangga nada. Malah jauh dari kesan nuansa lagu modern. Lagu itu, benarbenar sangat sederhana dan memanjakan telinga pendengarnya.

            Persis setelah itu, bermunculanlah misteri satu demi satu dalam hidup saya terkait Kang Candra, begitu ia biasa saya sapa sejak awal bertatap muka dengannya pada Ramadhan yang Sabtu di bilangan Jagakarsa, 4 Agustus 2012. Ia hadir lebih dulu, padahal saya yang mengundang dan membutuhkannya sebagai calon penulis buku. Ia datang dengan menggunakan setelan celana dan jaket jeans yang membalut kaos warna hitam.

Satu hal yang menarik dari penampilannya, ia kerap memakai kopiah hitam—kapan dan di mana saja. Tak hanya ketika ia tampil di klip “Samudra Debu” itu. Rambutnya menjuntai sebahu. Kedua pipinya penuh. Ada sebarisan kumis lebat yang menghiasi ruang antara hidung dan bibirnya. Penampilan Kang Candra kala itu—bahkan hingga kini, laiknya perpaduan desa-kota. Metropolis sejati.

            Sedari awal bertemu dan bercengkerama bersama Kang Candra, kami seperti sedang menjelajahi begitu banyak ruang-waktu. Ia rekan bicara yang menyenangkan sekaligus mengagumkan. Pengetahuannya merentang jauh ke cakrawala. Daya jelajah spiritnya sudah menembus ke langit entah. Sampai detik terakhir kami berbincang, saya sudah yakin sepenuhnya bahwa Kang Candra adalah benar seorang sufi. Keyakinan itu sama belaka dengan matahari adalah sumber cahaya bagi bumi.

            Usai azan Ashar, Kang Candra berpamitan. Sementara saya tertinggal sendiri di saung tempat kami berbincang sebelumnya. Entah bagaimana pula ceritanya, kemudian saya malah menangis sesunggukan. Apa yang harus ditangisi pun saya tak mafhum. Tapi nun di lubuk hati, saya percaya betul bahwa kelak ia akan menjadi pembimbing yang baik menuju ranah paling tersembunyi lagi misterius di alam dunyo.

Itulah kali pertama pertemuan kami yang kelak melahirkan sebuah karya monumental, Makrifat Cinta. Kang Candra penulis, aku penyunting. Sebagai kolaborator, kami hanya membutuhkan waktu dua pekan untuk melahirkan buku itu ke dunia.
Di luar dugaan, Makrifat Cinta beroleh sambutan luarbiasa hangat dari calon pembaca          . Padahal buku yang sedang kami kemas ini termasuk kategori khusus—tasawuf. Ternyata tuhan berkehendak lain. Ponsel saya sampai hang ketika meladeni preorder buku bersampul merah ini. Saya pun kian yakin bahwa Kang Candra bukan sufisufian. Padahal sejak awal jumpa, ia sudah berkata bergini pada saya:

“Kalau agen rahasia dari FBI (Federal Bureau of Investigation)/BIN (Badan Intelijen Negara) mengaku di tengah masyarakat, apa ada yang percaya? Nah, karena itulah mending saya mengaku sufi saja sekalian biar makin banyak yang ndak percaya. Gampang toh?” ucap Kang Candra santai.

Pada Oktober setahun berselang, lahir lagi buku kedua Kang Candra, Menyambut Kematian. Anehnya, kami jadi sulit betul bertemu dalam satu ruang-waktu—meski dalam banyak hal, kami tetap tersambung dalam komunikasi via sabak (gadget). Terutama dalam perkara kerja dan penciptaan karya. Lebih dari itu, tak.

Pada 2014, kami kian sering bertukar cerita—bahkan tak jarang saya dikirimi Kang Candra beberapa rahasia yang entah kenapa ia bagi begitu saja. Tapi sambil begitu, saya terus berdoa & berharap cemas, kapankah waktu yang ditunggu itu tiba? Akankah saya beroleh hak masuk ke dalam medan misteri dari seluruh misteri semesta alam itu?

Sejatinya, bisa melihat dan mengenal Kang Candra dari jarak dekat, tak ubahnya mewujudkan alam imajinasi yang telah saya bangun sedari kecil (saat masih berumur lima/enam tahun) ketika membaca kisah hidup Hasan Basri, Dzun Nun al-Misri, Sirri ash-Saqati, Abu Yazid al-Bishtami, Junayd al-Baghdadi, Rabi’ah al-Adawiyah, Jalaluddin Rumi, dan tentu saja para Wali Songo di Nusantara. Apa yang dilakukan para sufi dan wali tersebut, pasti juga diamalkan, diyakini, juga dialami oleh Kang Candra—dan ternyata keyakinan saya tak meleset.

Selain itu, keluarga kami memang sudah menjalin hubungan mesra dengan Tarekat Naqsyabandi di Langkat, Sumatera Utara, dan saya adalah satusatunya anak kecil yang kala itu diizinkan duduk di majelis pengajian dan zikir mereka. Ketika rampung menuntaskan studi tingkat menengah, saya berhasil meraih beasiswa Strata 1 untuk bidang Islamic Studies pada 2005. Bertambah meriahlah dunia jadinya.

Maka pelahan tapi pasti, terkuaklah empat matra Islam itu—yang selama ini tertabiri di hadapan saya: makrifat ~> hakikat ~> tarekat ~> syariat.

Kita kembali pada Kang Candra Malik. Memang sudah sepatutnya kami bertemu, maka bagaimana pun ceritanya ya tetap tak bisa dihalangi-dihindari.

الْإِحْسَانُ الْإِحْسَانِ جَزَاءُ هَلْ : Tiada balasan bagi kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (QS Ar-Rahman [55]: 60). Ayat itulah yang saya yakini sedang bekerja menjalin benang takdir antara kami berdua. Ia manusia yang baik dan saya sedang berjuang matimatian agar menjadi baik.

Pada Sabtu, 21 Maret 2015, empat hari sebelum milad Kang Candra yang ke-37, akhirnya undangan itu pun datang. Ia mengundang saya secara langsung (juga para santri sufi lain) menuju ke Pondok Pesantren Segoro Gunung, Karang Anyar, Solo, Jawa Tengah. Undangan yang telah saya nantikan dengan sangat, sejak belasan tahun silam--yang sarat kebingungan dalam kepayahan. Butiran kristal di dua bola mata saya pun segera menyublim.

Setiba di pondok Segoro Gunung, di kaki Gunung Lawu, tak jauh dari Candi Cetho, lagilagi saya sedang menyusun ulang imaji semasa kecil ketika membaca tentang khanqah (Persia: خانگاه‎), atau ribat (رباط), sejenis pondokan para sufi yang tersebar sedari Damaskus, Baghdad, Turki, Andalusia, Maroko, hingga Mesir. Keterpencilan dalam sunyi yang ngelangut, adalah bahasa paling tepat yang bisa saya terakan terkait pondokan di kaki Lawu itu.
Kini, saya benarbenar telah menjadi bagian terkecil dari sekelompok manusia yang gemar menamakann dirinya sebagai Ibn al-Waqt (Anakanak Waktu). Setidaknya, pintu gerbang misteri itu telah terbuka tuk dimasuki. Sebagai penutup, saya nukilkan tiga buah puisi yang digubah Kang Candra Malik pada Sabtu, 28 Maret 2015, dalam tagar (#) Fatwa Rindu: 

Perjumpaan tak menghendaki perpisahan.
Namun, apalah percintaan jika tanpa kerinduan? #FatwaRindu 

Jika Cinta mengenal mula, apakah Rindu mengenal akhir? #FatwaRindu

Di dalam Cinta tak ada masa.
Di dalam Rindu tak ada waktu.
Serasa berhenti, padahal abadi. #FatwaRindu []   


  

            

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews