Anakanak Waktu


HARI ini Rabu, 3 Maret 2015, jadi Rabu yang kesekian dalam hidup kami. Semula memang nampak biasa saja. Bahkan teramat biasa. Namun seiring bergulirnya waktu, kami mulai merasakan ada sesuatu yang sedang mengalir bersama Rabu kali ini. Sesuatu yang teramat sangat sukar diterjemahkan kata.

Sesuatu itu terjadi persis ketika waktu dhuha naik sepenggalahan. Pelahan sekali, ruang seolah memuai, memanjang, melebar, menaik, meninggi, melar, mengerut-merut. Kami, diberi kesempatan merasakan geletar ruang itu hingga detil terkecil yang paling subtil & sublim. Bahkan kami bisa merabai lagi napas pertama yang ditarik & hembuskan kali pertama terlahir ke dunia—pun sebaliknya.

Bersamaan dengan itu, kami kehilangan alasan menyatakan keberadaan di jagat alit ini. Pandangan kami berubah cahaya. Pendengaran jadi melulu rambatan bunyi yang riuh rendah. Lidah ini mengecap apa saja. Termasuk air susu pertama yang menetes dari puting ibu. Kulit menjadi tanah. Ingatan menjelma masa lalu yang kekinian. Kami berdiam tapi di manamana. Kami bergerak namun terpatri di atas bumi yang kupijak.

Udara menguarkan aroma yang datang dari masa lalu—juga masa datang. Pusparagam rasanya. Kami melihat seorang bayi mungil menangis lucu—yang adalah diri sendiri. Kami pun menyadari bahwa bayi itu telah membujur kaku di senja usianya. Meregang nyawa bersama ruang-waktunya. Bayi yang berbahagia. Ia lahir dari kedamaian tertinggi. Lantas kembali damai dalam kedamaiannya.

Semua tetumbuhan yang ada di kitaran kami sekarang, tepatnya di daerah Babakan, Ciseeng, bersahutsahutan mengirim salam. Pada setiap jangat kulit ini, kami merasakan sentuhan lembut mereka yang melebihi sutra. Melampaui kehalusan yang paling halus. Kami ngungun bersama mereka. Sementara mereka, menjelma kami seutuhnya. Kami menyatu padu. Dalam kehangatan penciptaan. Kami lebur jadi sesuatu yang entah apa. Bukan apaapa. Tak bernama. Barangkali, inilah yang dimaksud para pejalan tuhan sebagai keberawalan yang akhir. Ujung yang tak hingga. Nirruang. Nirwaktu. Ada yang tiada. Suwung lan isi. Penuh menyeluruh. Fana' yang abadi, dalam keabadian-Nya.

            Kami kehilangan kesejatian diri. Lupa pada semua. Lupa pada nama sendiri. Namanama melesat keluar dari pikiran kami. Tak berbekas sama sekali. Kekosongan ini begitu melekat dan mendekap. Benarlah apa yang dikatakan dan diyakini para Arif, mereka yang bijak bestari. Jika kau tak bisa menjawab siapa namamu, siapa kamu sebelum dilahirkan, maka jawaban yang paling mungkin adalah, kita semua adalah Ibn al-Waqt (Anakanak Waktu). []


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews