Mencari Sastra Filosofis-Sufistik dalam Novel Sang Musafir "Ibn 'Arabi"


(sebuah kritik sastra)

oleh Maman S. Mahayana

DALAM banyak pendekatan, kajian, atau kritik sastra, pembicaraan tentang hubungan sastra dan filsafat cenderung dengan mengambil contoh kasus pada teks-teks sastra yang sarat menyampaikan pemikiran filsafat; atau karya filsafat yang disampaikan dalam bentuk karya sastra. Dalam sudut pandang ilmu sastra, teks yang digunakan sebagai contoh kasus itu harus memenuhi unsur-unsur kesastraan. Jadi, tidak semua karya filsafat diperlakukan sebagai karya sastra.

Meskipun (karya) filsafat dan sastra, keduanya mengangkat perkara hakikat keberadaan manusia, penekanan pada aspek objektivitas—subjektivitas, pemikiran—imajinasi, fakta—fiksi, serta logika (rasionalitas)—estetika dan keserbamungkinan atau kebolehjadian, yang membedakan kedua bidang itu. Pertanyaannya, bagaimana jika karya filsafat itu di dalamnya juga ada penekanan pada perkara subjektivitas, imajinasi, dan seterusnya? Di situlah, perbincangan hubungan filsafat dan sastra berhadapan dengan masalahnya sendiri.

Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan pantulan pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan pantulan evaluatif, maka filsafat merupakan pantulan kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Sastra mungkin juga mempertanyakan hakikat dan keberadaan manusia, tetapi dalam bentuk yang lebih menekankan pada nilai-nilai estetik daripada logika atau pemikiran yang dalam filsafat justru sangat penting. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.[1]

* * *

MASALAH hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologi, sejak itu pula sesungguhnya hubungan sastra dengan filsafat–dalam pengertian yang lebih luas—sulit dipisahkan. Apakah cerita klasik macam Bhagavad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Iliad dari Homerus, kisah Dewi Matahari Jepang, Ameterasu, karya sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya sastra, atau karya sastra yang berisi ajaran filsafat?

Dalam khazanah sastra Indonesia, apakah puisi-puisi Hamzah Fansuri termasuk karya sastra yang menyampaikan ajaran tasawuf atau sekadar puisi-puisi simbolik. Munculnya istilah sastra sufi beberapa waktu lalu, sebenarnya bersumber dan mengacu pada karya-karya tokoh tasawuf itu.[2]

Di dunia Barat, juga sudah sejak lama mitologi Yunani klasik menjadi sumber ilham yang tiada habis-habisnya digali, baik untuk bidang filsafat, maupun sastra. Bahkan hingga kini tidak sedikit sastrawan di sana yang memuat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi Yunani itu. Tiga dramawan penting zaman Yunani klasik (sebelum masehi) yang patut disebutkan adalah Aeskilos (525—426), Sopokhles (496 – 406),[3] dan Euripies (484—406).

Dalam perkembangan kemudian, sejalan munculnya berbagai macam aliran filsafat (Barat), muncul pula sejumlah filsuf yang menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai alat mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikan. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya karya-karya Voltaire (1694-1778). Lewat novel-novelnya, L’Ingenu (Si Lugu), Candide, dan Zadig, Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz (1646-1716), terutama yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula Friedrich Nietzsche (1844-1900) lewat The Spoke Zarathustra-nya, menampilkan tokoh Zarathustra sebagai simbol manusia unggul (uebermensch), tokoh manusia yang dicita-citakannya, agar memperoleh kebebasan mutlak. Dalam dunia filsafat, ia dipandang sebagai filsuf eksistensialisme yang paling radikal.

Tokoh lain yang dianggap sebagai penganjur filsafat eksistensialisme yang juga menyampaikan gagasan filsafatnya lewat karya sastra, antara lain, Albert Camus (1913-1960) dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Gagasan filsafat eksistensialisme yang disampaikan Sartre terdapat pada karya-karya pentingnya yang berupa novel, antara lain, La Nausee (Rasa Muak) dan Les Chemins de la Liberte (Jalan-jalan Kebebasan), serta karya drama Les Mouches (Lalat-lalat) dan Huis Clos (Pintu-pintu Tertutup).

Hal yang sama juga dilakukan Albert Camus. Betapa pun Camus sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan daripada filsuf, lewat La Peste (Sampar) dan L’Etranger (Orang Asing), ia juga bermaksud mempertegas gambaran dirinya sebagai sosok eksistensialis dalam berhadapan dengan kehidupan yang absurd.

Dalam filsafat Islam, di samping tokoh-tokoh yang disebut terdahulu, Mohammad Iqbal (1873-1938) juga dikenal sebagai tokoh pemikir (filsuf) Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi. Melalui puisi-puisi Parsi-nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal menyampaikan kritik pedasnya terhadap filsafat Barat dan pemikiran Islam tradisional. Di samping itu, ia juga menekankan pentingnya progresivitas dalam sikap dan pemikiran generasi muda Islam. Dalam hal itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan Islami, mutlak ditumbuhkembangkan.

***

NAH, kini bagaimana dengan novel Sang Musafir karya Sadik YalsizuÇanlar  (Jakarta: Noura Books, Februari 2015, xvi + 315 halaman), sebuah karya terjemahan novel The Traveller yang menampilkan sosok Ibn ‘Arabi, the greatest master; makhluk manusia suci sejati sebagai tokoh utamanya?

Perkaranya bukan cuma terletak pada tampilnya sosok sufi, salah seorang pemikir agung dan penting dalam sejarah tasawuf yang juga secara faktual merupakan tokoh sejarah Islam sebagai tokoh utama novel itu, melainkan juga muatan novel itu yang laksana penerjemahan pemikiran tasawuf Ibn Arabi sendiri yang diintegrasikan sebagian lakuan, bicaraan, dan pikiran tokoh Sang Musafir? Jadi, novel itu seperti pesan-pesan spiritual tasawuf Ibn ‘Arabi. Bahkan, sekaligus juga tentang perjalanan dan perkembangan pemikirannya. Pertanyaan berikutnya: apakah novel ini sebenarnya merupakan penjelasan tasawuf Ibn ‘Arabi sebagaimana yang ditafsirmaknai Sadik YalsizuÇanlar sebagai pengarang novel? Bukankah mengangkat biografi seseorang sebagai tokoh novel tidak lahir dari keinginan yang tanpa alasan, tanpa sebab. Pilihan itu niscaya dilandasi oleh pemikiran dan sekaligus apresiasi terhadap tokoh sufi itu? Jika begitu, apakah sebenarnya Sadik YalsizuÇanlar bermakna menulis biografi Ibn ‘Arabi yang lalu tergoda untuk lebih banyak mengungkapkan pengembaraan pemikiran tokoh sufi yang agung itu? 

Jika Sang Musafir ini, dijebloskan pada kotak novel dalam pengertian sastrawi, sejauh mana pula permainan imajinasi mendominasi fakta, sehingga novel itu murni fiksional? Bagaimana pula tarik-menarik fakta—fiksi diejawantahkan, sehingga tokoh-tokoh sejarah yang faktual itu sebagai sekadar alat atau pintu masuk untuk menjelaskan pemikirian Ibn ‘Arabi? Atau juga, apakah muatan tasawuf itu sengaja dipaksakan, sehingga laksana letusan pistol di tengah konser musik.[4]

Persoalan lain sebagaimana yang kerap terjadi pada novel-novel yang bermuatan filsafat atau filsafat yang disajikan lewat novel adalah munculnya beban adicita (ideologis). Novel yang mengandalkan kekuatan narasi atau penceritaan, akan sarat dengan muatan pesan-pesan atau dakwah ketika beban filsafat atau adicita dipaksakan sebagai bagian cerita.[5]

Satu pertanyaan lagi perlu diajukan, bagaimana dengan novel dengan muatan filsafat dan disajikan lewat teknik arus kesadaran (stream of consciousness) sebagaimana terjadi pada novel-novel karya Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, Putu Wijaya atau Budi Darma?[6] Dalam novel-novel mereka, dunia jungkir balik diizinkan; peristiwa hubungan sebab-akibat, dihancurkan; logika formal, dibenamkan. Apakah Sang Musafir ini, lantaran ada beban tasawuf Ibn ‘Arabi, juga memberlakukan peristiwa jungkir balik, absurd, dan irasional?

Sejumlah pertanyaan lain, tentu saja masih dapat kita kemukakan. Kini, gilirannya untuk coba menelisik muatan novel itu!

***

SEBAGAIMANA tersurat pada judulnya, Sang Musafir sebagai terjemahan The Traveller yang secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai Sang Pengelana atau Pelancong atau Wisatawan,[7] novel ini menampilkan tokoh Ibn Arabi sebagai Sang Musafir. Tokoh itu memang tidak berkelana sekadar mencari pengalaman atau penggelandangan seseorang yang ingin memperoleh ilmu pengetahuan (duniawi). Kemusafirannya yang menjelajahi tempat-tempat sumber hakikat manusia digugat, dipertanyakan, atau didiskusikan, bukanlah tempat-tempat wisata sebagaimana yang menjadi tujuan kepergian para pelancong atau wisatawan. Oleh karena itu, sebagai musafir, ia bisa berguru pada tokoh-tokoh yang dikaguminya yang tinggal atau berada di mana pun juga, tetapi bisa juga berguru pada air, hujan, atau benda-benda alam yang dapat mengembalikan kesadarannya pada hakikat keberadaannya sebagai makhluk manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.

Itulah salah satu keunikan novel ini. Kita diajak mengikuti perjalanannya tidak hanya menuju dan mampir di kota-kota seperti Andalusia, Damaskus, Makkah, Seville, Cordova, Marokko, dan kota-kota lain dalam makna yang sebenarnya sebagai sebuah tempat, tetapi juga ke Langit Kasih Sayang, Pena Bulu, Cahaya Surga, Fatimah—perempuan gnostik berusia lanjut, Kristus, Maryam, Al-Hallaj, Nabi Khidir, dan apa pun yang dapat menghidupkan saklar imajinasinya pada kesadaran Sang Mahacinta.

Novel Sang Musafir disusun dalam bentuk fragmen-fragmen. Jadi, ia dibangun lewat serangkaian peristiwa fragmentaris. Ada 110 fragmen yang beberapa di antaranya masih dalam satu peristiwa yang sama. Secara keseluruhan, fragmen-fragmen itu tampak seperti peristiwa yang terlepas-lepas. Segalanya kemudian menjadi sebuah rangkaian yang koheren, berpadu sebagai jalinan peristiwa yang berkelindan menjadi satu kesatuan yang utuh, lewat fokus ceritapada satu tokoh: Ibn ‘Arabi. Kisah atau peristiwa yang terjadi pada tokoh lain, Abdullah—lelaki kulit hitam yang kemudian menjadi murid dan sekaligus sahabatnya, atau Sadruddin, anak angkat Ibn ‘Arabi yang jadi penerusnya, misalnya, tetap tidak berpaling dari fokus cerita pada ketokohan Ibn ‘Arabi. Dengan begitu, perhatian pembaca tidak menyeleweng pada tokoh atau peristiwa lain. Fokus cerita pada tokoh Ibn ‘Arabi berfungsi memperkuat karakter, sikap, perilaku, pemikiran, dan pandangan hidupnya: lahir-batin, fisik-psikis, luar-dalam.

Sebagaimana lazimnya sebuah novel yang sarat bermuatan pemikiran (filsafat, tasawuf atau adicita), dampak yang mungkin terjadi pada diri pembaca adalah terjadinya hingar (noise), tulalit, beban berat dengan dahi yang terus berkerut. Coba saja baca novel Sampar-nya Albert Camus atau Ziarah-nya Iwan Simatupang. Usaha untuk menghabiskan teks yang bergelimang pemikiran filsafat, memaksa pembaca bekerja keras, terbentur-bentur dengan jidat yang terus berkerut. Akibatnya, bagi pembaca awam yang apresiasinya sebatas pada sinetron sabun, kemungkinannya hanya satu, yaitu segera menyimpan novel itu di rak buku atau jika tidak lagi punya kesadaran intelek, ia akan mencampakkannya. Novel dengan jenre filsafat memang meletakkan nilai-nilai estetikanya di sana; dalam keseriusan menyampaikan rangkaian pemikiran.

Bagaimana dengan novel Sang Musafir ini? Apakah ia juga menciptakan suasana pergulatan pemikiran bagi pembaca, sehingga kerut di kening pembaca tak kunjung hilang selama ia memasuki proses pembacaan teks yang bersangkutan?

Di sinilah letak kerennya Sang Musafir. Betul novel itu sepenuhnya bergelimang peristiwa dan pemikiran tasawuf. Tetapi, lantaran keseluruhannya dibangun lewat fragmen-fragmen, kita (pembaca) seperti diberi waktu jeda sejenak yang bisa digunakan untuk melakukan perenungan, atau melanjutkan kisah lain yang di sana, selalu hadir kisah simbolik, dialog filosofis, atau cerita lain yang laksana cermin yang disodorkan di depan nurani kita. Dengan begitu, rangkaian peristiwa sufistik itu dapat terus kita telusuri sambil sekali-kali mempertanyakan kualitas keberimanan kita sendiri.

Perhatikan, misalnya, fragmen berjudul “Sujud Sehiv” berikut ini:
Dengan telunjuk masih menyala, Ibn ‘Arabi memulai shalat. Ia menyelesaikan shalatnya, lalu memulai kembali, mengulangi shalatnya berulang kali. Sesekali ia melakukan “sujud sehiv.”[8] Ia berdoa kepada Allah hingga kelelahan. Lalu, duduk bersila dalam keheningan. “Mengapa kau mengulangi shalat?” tanya Abdullah.
“Jika sesuatu yang berhubungan dengan dunia ini muncul dalam pikiranku pada saat shalat,” jawab Ibn ‘Arabi, “aku mengulangi shalat. Jika aku memikirkan sesuatu mengenai akhirat, aku melakukan sehiv.” (hlm. 137).

            Bukankah fragmen itu laksana cermin bagi kita: bagaimana kualitas shalat kita?
            Dalam fragmen “Bahasa Bisu” (hlm. 143) kita disuguhi sebuah peristiwa simbolik: perjumpaan Ibn ‘Arabi dengan seekor anjing di sebuah lorong yang sempit. Ketika menatap binatang itu, Ibn ‘Arabi merasa bersyukur karena ditakdirkan sebagai manusia, sementara anjing terperangkap dalam kulit hewan. “Karena rasa syukur atas berkah yang dianugerahkan kepadaku, aku membiarkan anjing itu lewat terlebih dahulu.” Bukankah peristiwa itu juga laksana cermin bagi kita: selalu bersyukur dan menghormati sesama makhluk hidup, meski kepada seekor anjing sekali pun.

            Begitulah, peristiwa fragmentaris itu, sungguh membantu kita memberi semacam kelonggaran untuk menelusuri berbagai peristiwa yang sarat dengan pesan-pesan spiritual. Ia tetap tidak terjerumus sebagai karya tasawuf, lantaran segala peristiwa itu, selain disajikan secara ringan, mengalir, cair, dan renyah, juga begitu banyak dihiasi metafora, analogi, dan kisah-kisah simbolik.

            Apakah penceritaan yang penuh metafora itu dapat dianggap sebagai syarat sebuah novel yang berhasil? Tentu perkara itu perlu kita tempatkan berdasarkan jenis novelnya sendiri. Bagi novel petualangan yang mengandalkan aspek tegangan atau pada novel realis yang menekankan deskripsi teperinci pada latar dan gambaran fisik tokoh-tokohnya, metafora dengan segala simbolismenya, tidak diperlukan. Di sana, dalam kedua jenis novel itu, konflik antartokoh dan kelugasan membangun cerita menjadi salah syarat penting. Tetapi, dalam novel filsafat atau sebut saja Sang Musafir ini sebagai novel tasawuf, pemikiran dan perenunganlah yang mesti lebih ditekankan. Akibatnya, struktur alur menjadi terasa lambat. Tambahan lagi, segala pemikiran dan perenungan tokoh dalam Sang Musafir adalah peristiwa yang tidak bermakna artifisial. Maknanya berada di balik peristiwa yang dikisahkan. Di situlah letak estetika jenis karya sastra yang mengandalkan gagasan (literature of ideas).

***

SANG MUSAFIR tampaknya memang diniatkan pengarangnya (Sadik YalsizuÇanlar) sebagai novel tasawuf,[9] sebuah jenre novel yang di dalamnya sarat muatan pemikiran dan perenungan sufistik. Selain tokoh utamanya, Ibn ‘Arabi, salah seorang sufi agung, novel itu sendiri diawali dengan fragmen pertemuan agung, Sang Musafir dan Sang Filsuf.[10] Sebuah pertemuan simbolik, bagaimana kedua tokoh itu berdialog dan menegaskan posisi filsafat dan tasawuf.

            Fragmen-fragmen berikutnya adalah perjalanan Ibn ‘Arabi menyusuri satu tempat ke tempat lain, dan dalam setiap tempat itu, hakikat tasawuf ditemukan, dan risalah-risalah sufi disampaikan. Apa yang muncul kemudian adalah dunia tasawuf yang sedetik pun, tiada ingin terlepas dari perasaan cintanya kepada Sang Khalik. Pesan-pesan simbolik tentang kedekatan aku—Engkau atau engkau—Aku, pada akhirnya adalah usaha melebur-menyatu, manunggaling kawula gusti, sampai ke Akulah Allah sebagaimana yang terjadi pada diri Al-Hallaj. Jadi, dalam perjalanan Ibn ‘Arabi itu, kita kerap diingatkan, bahwa siapa pun, hewan, makhluk atau apa pun, di belakangnya selalu ada misteri. Misteri itulah yang akan terus dikejar seorang sufi, meskipun pada akhirnya misteri itu tetap menjadi misteri.

            Jika kita hendak melegitimasi penamaan novel tasawuf pada Sang Musafir ini, maka sang musafir, Ibn ‘Arabi sebagai tokoh utama novel itu menunjukkan karakteristik berikut ini:
(1) adanya semangat dan obsesif kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi. Dalam hal ini, tasawuf berfungsi sebagai pengendali berbagai kekuatan yang dapat dianggap merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa, sehingga ia terbebas dari pengaruh yang datang dari hakikat dirinya. Rasa kebebasan inilah inti kedamaian dan kebahagiaan jiwa.
(2) adanya semacam pengetahuan langsung yang diperoleh melalui tanggapan intuisi, epistimologi sufisme mencari hakikat kebenaran atau realitas melalui penyingkapan tabir penghalang yang mengantarai sufi dengan realitas itu.
(3) dalam setiap perjalanan seorang sufi ada semangat yang khas, yaitu bahwa keberangkatannya dari dan untuk peningkatan kualitas moral sebagai pemurnian jiwa melalui serangkaian latihan berkelanjutan.
(4) adanya semangat pada usaha peleburan diri pada kehendak Tuhan, baik secara simbolis, maupun substansial. Peleburan diri dengan sifat-sifat Tuhan atau penyatuan diri dengan Tuhan dalam realitas tunggal.
(5) adanya penggunakan kata-kata simbolik dalam pegungkapan pengalaman yang dirasakan atau dialami sacara langsung. Setiap kata yang diungkapkannya cenderung bermakna ganda, tidak bermakna harafiah.[11]
            Bukankah kelima ciri tersebut itu sebagai karakteristik dunia tasawuf? Jadi, tidak berlebihan kiranya, jika kita menyebut Sang Musafir sebagai novel tasawuf!

***

DI luar perkara dunia tasawuf, saya perlu memberi apresiasi yang tinggi pada kerja keras penerjemah yang menghasilkan karya terjemahan yang sungguh cantik dan asyik. Saya menikmati novel ini seperti membaca novel yang aslinya berbahasa Indonesia dari karya pengarang Indonesia yang piawai berbahasa Indonesia. Perhatikan beberapa kutipan berikut:
            Kesengsaraan cinta pertama telah menarik Ibn ‘Arabi ke dalam lembah kecemasan … (hlm. 15),
Terkadang, jalannya memeluk sisi ngarai … (hlm. 22).
… ia melihat seorang lelaki dengan wajah terbenam dalam secarik kain … (hlm. 31).
            Novel ini penuh ditaburi berbagai majas yang menjadikan bahasa Indonesia begitu kaya daya ungkap. Tak ada kesan nyinyir memamerkan bahasa yang berbusa-busa. Boleh jadi karya aslinya memang menyajikan kekayaan bahasa seperti itu. Tetapi, bagaimana pun juga, kepiawaian penerjemah, sangat menentukan kualitas karya terjemahannya.Sang Musafir laksana merepresentasikan kepiawaian itu.
            Hal lain yang juga perlu disinggung di sini adalah adanya catatan akhir. Beberapa diberi keterangan sebagai informasi tambahan dari penerjemah, beberapa lainnya ditandai singkatan (RM). Pertanyaannya, bagian keterangan yang mana saja yang berasal dari karya aslinya? Jangan-jangan dalam karya aslinya tidak ada keterangan seperti itu.

***

Bagi seorang mualaf seperti saya, novel ini makin menegaskan kemualafan saya. Seperti setetes air di lautan, saya benar-benar merasa berada di hamparan laut luas dunia tasawuf. Kehidupan profanitas saya seperti tercabik-cabik, yang membawa saya pada satu kesadaran: bertobatlah segera! []






[1] Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005. Beberapa alinea berikutnya juga dikutip dari sumber yang sama dengan beberapa perbaikan, pengurangan, dan penambahan.
[2] Kajian tentang Hamzah Fansuri sebagaimana yang dilakukan–sekadar menyebut beberapa—V.I. Braginsky (Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad ke-7—19, 1998), G.J.W Drewes dan L.F. Brakel (The Poems of Hamzah Fansuri, 1986), A. Teeuw (“Hamzah Fansuri: Sang Pemula Puisi Indonesia,” 1989), Abdul Hadi WM (Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya (1995) dan Tasawuf yang Tertindas, 2001) menunjukkan, bahwa Hamzah Fansuri ternyata juga tidak terlepas begitu saja dari pengaruh khazanah sastra Arab—Parsi. Dalam hampir semua buku yang berisi kajian tentang Hamzah Fansuri, kerap muncul perbincangan tentang Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi wanita yang konon wafat tahun 752 (?), Al-Hallaj (828-921), Fariduddin Attar (1117-1234), Ibn Thufail (1106-1185), Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270), dan teristimewa Ibn Arabi (25 Juli 1165—8 November 1240) sebagai sufi yang banyak mempengaruhi pemikiran Hamzah Fansuri.
[3] Bagi pengamat sastra di Indonesia, nama Sopokhles bukanlah nama yang asing. Sejumlah karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain, Antigone, Oeidipus Sang Raja dan Oidipus di Kolonus. Dari karya Sopokhles itu, belakangan Sigmund Freud menemukan istilah Oeidipus Complex untuk mendukung penemuannya mengenai psikoanalisis.
[4] Stendhal, seorang novelis Inggris, menyatakan, bahwa jika politik (atau adicita atau filsafat) dipaksakan memasuki karya sastra (novel), pemaksaan itu laksana letusan pistol di tengah sebuah konser musik. Letusan pistol itu akan terdengar norak dan kampungan, jika mengganggu irama komposisi musik itu. Sebaliknya, ia akan menjadi kejut dan mendukung konser itu, jika suara letusan itu berintegrasi dan menyatu menjadi bagian tak terpisah dari konser itu.
[5] Sekadar menyebut contoh kasus, periksa novel Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Kelewat kencangnya filsafat dijejalkan dalam novel itu berakibat pada terjadinya disharmoni antara tema dan unsur lain yang membangun novel itu. Pembaca jadinya seperti disuguhi pikiran-pikiran STA tentang filsafat dan bukan suara tokoh-tokohnya. Hal yang sama terjadi pada Achdiat Karta Mihardja dalam novelnya Manifesto Khalifatullah (2005). Pesan adicita tokoh Saya menjelma dakwah pengarangnya dalam menghadapi adicita komunisme dan kapitalisme. Demikian juga dengan novel karya Achdiat Karta Mihardja sebelumnya yang berjudul Debu Cinta Bertebaran (terbit pertama kali di Singapura, 1973, kemudian diterbitkan ulang Balai Pustaka, 2004). Hampir semua tokoh dalam novel itu dibebani semangat pengarangnya yang menolak konsep cinta dalam pandangan Barat yang lalu melahirkan kebebasan seks.
[6] Sekadar contoh, periksa novel Ziarah (Iwan Simatupang), Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Stasiun (Putu Wijaya) atau Rafilus (Budi Darma).
[7] Pembicaraan judul ini saya maksudkan sebagai isyarat, bagaimana kualitas terjemahan novel ini. Sang Musafir jelas mewakili konsep Islam ketika seseorang mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mencari dan menemukan “Tuhan” atau sebagai ejawantah kecintaannya kepada Tuhan. Tidak digunakannya judul Sang Pengelana yang mengesankan kisah pengembaraan manusia dalam pengertian duniawi dan bersifat profan. Jadi, tentu saja judul Sang Pengelana tidak mewakili substansi perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi. Kata pelancong dan wisatawan, juga sangat tidak tepat, sebab maknanya jelas semata-mata bersifat hiburan. Maknanya jauh panggang dari api.
[8] Sehiv: bersujud lebih lama ketika sedang shalat, karena telah melakukan kesalahan atau melupakan sesuatu saat shalat.
[9] Sejauh ini, saya belum menemukan istilah yang tepat untuk menyebut Sang Musafir sebagai novel dengan jenre tertentu. Pilihan pada sebutan novel tasawuf untuk Sang Musafir, menurut hemat saya, lebih tepat dibandingkan dengan sebutan novel filsafat. Ada perbedaan mendasar antara filsafat dan tasawuf, sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi sendiri yang dikutip G.J.W Drewes dan L.F. Brakel (The Poems of Hamzah Fansuri, 1986, hlm. 9) berikut ini: Ibn Arabi describes how a mystic and a philosopher undertook the journey together. When they arrived at a certain stage the philosopher was not allowed to proceed, but the sufi was admitted into God’s presence. (Ibn ‘Arabi menggambarkan bagaimana seorang mistikus dan filsuf melakukan perjalanan bersama. Ketika mereka tiba pada tahap tertentu, filsuf tidak diizinkan melanjutkan, tetapi seorang sufi dapat mengaku-merasakan kehadiran Tuhan).
[10] Dalam catatan mengenai pertemuan itu disebutkan, bahwa yang dimaksud Sang Musafir dan Sang Filsuf tidak lain adalah Ibn ‘Arabi dan Ibn Rusyd. Peristiwa itu seperti sebuah legitimasi tentang kesufian Ibn ‘Arabi.
[11] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm 35—36.  

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews