oleh Ren Muhammad
SEMARANG, di pondok pesantren asuhan KH. Murtadho, sang
menantu, KH. Sholeh Darat, mengajar para santrinya ilmu dasar keislaman seperti
tasawuf dari kita al-Hikam dan Kitab al-Munjiyah (karya KH. Sholeh
Darat); fiqih (Kitab Lataif Al-Taharah),
serta beragam ilmu yang lain. Di pesantren ini, dua orang santri muda yang
kelak akan turut berperan menumbuhkembangkan geliat Islam di Indonesia, juga sedang
bergiat mengaji. Keduanya sama mewarisi darah Syaikh Maulana Malik Ibrahim,
Mpunya Wali Songo angkatan pertama yang datang dari Persia.
Santri pertama berumur
16 tahun (l. 1868 M), bernama Mohammad Darwisy. Ia dilahirkan dari kedua
orangtua yang dikenal alim, KH. Abu
Bakar (Imam Khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar
(puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu
Yogyakarta). Kakeknya adalah KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadha bin Kiyai
Ilyas bin Demang Jurung Juru Kapindo bin Demang Jurung Juru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Sedang santri kedua berusia 15 tahun, Muhammad Hasyim.
Ayahnya adalah kiyai kenamaan, KH. Asy’ari (pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang) bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul
Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa)
bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Dari garis ibu, Halimah, Muhammad Hasyim memiliki kakek
bernama Kiyai Usman (pimpinan Pesantren Gedang). Buyutnya, Kiyai Sihah, juga
pendiri pondok pesantren Tambakberas. Jika dirunut ke atas, Muhammad Hasyim
adalah turunan ke delapan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu
Peteng, ayah Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang.
Muhammad Hasyim, lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, pada Selasa 24 Dzulqo’dah 1287 H/14 Februari 1871 M. Masa dalam
kandungan dan kelahirannya sudah menampakkan keistimewaan isyarat yang
menunjukkan kebesarannya kelak. Satu di antaranya, ketika dalam kandungan, Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya. Begitu
pun ketika melahirkan, Nyai Halimah tidak merasakan sakit yang dialami kaum
perempuan saat melahirkan.
Setelah sekitar sembilan tahun mukim dan belajar di
Pesantren Keras sampai berusia 15 tahun), Muhammad Hasyim mulai melakukan
pengembaraannya mencari ilmu ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah
Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di
Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di
Tuban, kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Syaikhuna Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna
Khalil Bangkalan).
Di Bangkalan inilah Mohammad Darwisy bertemu pertama kali
dengan Muhammad Hasyim. Setelah tuntas belajar pada Kiyai Khalil, keduanya
masing-masing dibekali kitab sebagai bekal mengaji lanjutan pada Kiyai Sholeh
Darat, di Semarang.
Kala
itu, Kiyai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, dan ahli
falak. Keluarga besar RA Kartini juga mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan
Kartini lah, Kyai Sholeh Darat menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar
bisa dipahami banyak orang di tanah Jawa.
Di Bangkalan inilah Mohammad Darwisy bertemu pertama kali
dengan Muhammad Hasyim. Setelah tuntas belajar pada Kiyai Khalil, keduanya
masing-masing dibekali kitab sebagai bekal mengaji pada Kiyai Sholeh Darat, di
Semarang.
Kala
itu, Kiyai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli
falak. Keluarga besar RA Kartini juga mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan
Kartini-lah, Kyai Sholeh Darat menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar
bisa dipahami banyak orang di tanah Jawa.
Selama nyantrik
di bawah naungan Kiyai Sholeh Darat sepanjang dua tahun penuh, Mohammad Darwis
memanggil Hasyim—teman sekamarnya, dengan sebutan Adi Hasyim. Sementara Muhammad
Hasyim menyapa Mohammad Darwis dengan sebutan Mas Darwis.
Ketekunan dua santri yang cerdas ini kemudian berbuah
pengusiran mereka oleh sang kiyai—ke Tanah Suci, Makkah. Sebelum berangkat ka
jazirah Arabia, Mohamamd Darwis sempat melanjutkan pelajarannya belajar ilmu
fiqih pada KH. Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu pada KH. Muhsin dan KH.
Abdul Hamid. Sementara itu, keahliannya dalam ilmu falak diperoleh dari berguru
pada KH. R. Dahlan, salah seorang putra Kyai Termas. Sedangkan ilmu Hadis yang
dikuasainya diperoleh dari KH. Mahfud Syaikh Khayat, dan KH. Muhammad Nur.
Seperti juga Darwisy, pemuda Hasyim terpikat untuk lebih
lama memperdalam ilmu di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, pimpinan Kiyai
Ya'kub. Di sana, berkat kecerdasannya, Hasyim segera menjadi santri menonjol.
Perilaku dan tekadnya, mencuri hati pimpinan pesantren. Bahkan belakangan,
sesuai tradisi lingkungan pesantren, Kiyai Ya'kub pun mengangkat Hasyim sebagai
menantu.
Ia dinikahkan dengan Khadijah, pada usia 21 tahun (1308 H).
Setelah pernikahan, Hasjim bersama istri dan mertuanya, ia menunaikan ibadah
haji. Setiba di Makkah pada 1883, Hasyim bertemu Darwisy. Mereka pun segera menjadi
murid kesayangan Imam Masjid al-Haram, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
Syaikh Nawawi al-Bantani (yang kelak menggantikan jabatan Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi), dan Syaikh Mahfudz at-Tarmisi. Selain tiga nama tokoh kawakan
itu, masih ada lagi Kiyai Mas Abdullah (Surabaya) dan Kiyai Faqih dari
Maskumambang.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara.
Praktik ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) yang menjadi bagian dari
kehidupan ulama-ulama Nusantara, diamalkan di sana. Tentu saja, itu pula yang
diajarkan pada para santri seperti
Mohammad Darwisy, Muhammad Hasyim, Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Kadir
Mandailing, dll. Dari sini tampaklah kecenderungan Muhammad Hasyim yang sangat
mencintai Hadis, sementara Mohammad Darwisy lebih tertarik bahasan pemikiran
dan gerakan Islam.
Di antara guru-guru Hasyim, Syaikh Mahfudz lah yang sangat
menyayanginya. Hasyim memperdalam ilmu Hadis dari Syaikh Mahfudz yang dikenal
sebagai isnad (perantai) dalam
pengajaran kitab Sahih al-Bukhari.
Bahkan, ia pun mendapatkan ijazah dari sang guru atas penguasaannya pada kitab Sahih al-Bukhari.
Syaikh Mahfudz merupakan generasi terakhir dari 23
generasi ulama 'Shahih al-Bukhari'
yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhari. Hasyim kemudian memeroleh
ijazah itu dari Syaikh Mahfudz, pertanda besarnya penghargaan sang guru pada
muridnya.
Hasyim memang laiknya musafir di sisi Baitullah.
Malam-malamnya, diisi dengan menyimak pengajaran dari sang guru. Bersama santri
dari pelbagai negeri manca, ia duduk di dalam lingkaran disiram cahaya fanus (pelita). Di tengah lingkaran,
sang guru dengan jubah kebesarannya, memberikan wejangan dan pengajaran.
Di saat senggang, ia terisak di sisi makam Rasuluhlah
Saw, maupun di tempat mustajab yang
lain, memanjatkan doa pada Allah Swt agar dapat mengharumkan Islam. Saat hendak
kembali ke Tanah Air, Hasyim bersama beberapa santri seperguruan di antaranya,
Pangeran Syiria, mengikat ikrar, disaksikan Baitullah.
Doa dengan linangan air mata itu, kemudian dikabulkan
Allah. Ikrar tersebut menyatukan mereka kelak menjadi pemuka agama di negeri
masing-masing. Sekembali ke Tanah Air, ia pun bersungguh-sungguh mengajarkan
ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci. Bahkan, kemudian ia memilih membuka
pesantren di Tebuireng. Pilihan ini sempat menjadi bahan tertawaan. Sebab
Tebuireng kala itu adalah muara maksiat. Sebagian penduduknya masih terbiasa
dengan judi, zinah, bahkan merampok. Di pusat kekelaman itulah, Hasyim muda
menyalakan pelita ilmu.
Pada usia 20
tahun (1888), Darwisy kembali ke Yogyakarta dan ia pun diangkat menjadi Khatib
Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dua tahun berselang pada usia 22 tahun, Darwisy menunaikan ibadah haji.
Kesempatan menunaikan ibadah haji tersebut ia pergunakan sebaik-baiknya untuk
belajar pada seorang guru bermazhab Syafi'i yang bernama Sayid Bakir Syaththa
di Makkah, selama kurang lebih dua tahun. Tokoh inilah yang mengganti namanya
menjadi KH Ahmad Dahlan, terinspirasi dari nama mufti Makkah, Ahmad bin Zaini Dahlan.
Muhammad Hasyim pulang ke Jombang. Di sana, kakek Cak Nun
(Emha Ainun Najib), KH Muhammad Ikhsan, telah menantinya penuh rindu. Bersama
lima kiyai lain dari Cirebon, kakek Cak Nun nan 'sakti' inilah yang menaklukkan
kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng, untuk didirikan pesantren. Ia
memohon pada Hasyim muda agar berkenan mengajar di situ. Maka dibukalah
pengajian 'Shahih al-Bukhari' di
Jombang.
Ada cerita menarik terkait kakek Cak Nun ini. Saat hendak
dimakzulkan dan diminta mundur dari jabatan presiden, Gus Dur biasanya
menjawab, "Saya kok disuruh mundur, maju saja susah, harus dituntun!"
Tapi berbeda halnya dengan Cak Nun yang mendatanginya ke Istana Negara. "Gus, kon wis wayahe munggah pangkat:
Gus, kamu sudah saatnya naik jabatan!" Sebenarnya bukan perkataan Cak Nun
semata yang membuat Gus Dur berkenan mundur. Ia ingat belaka jasa baik kakek
Cak Nun dulu pada kakeknya sendiri, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy.
Kembali ke Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ariy. Sejak
memulai pengajian Shahih al-Bukhari,
beliaulah orang yang menjadikan pengajian Hadis dinilai penting &
terhormat. Sebelum Hadratusy Syaikh memulai Pondok Pesantren (ponpes) Tebuireng-nya
dengan kajian Shahih al-Bukhari,
umumnya ponpes cuma mengajarkan tarekat saja.
Tak lama berselang, Ponpes Tebuireng pun kian maju. Para santri
mulai berdatangan dari seantero Nusantara. Hubungan baik pun terjalin dengan Kiyai
Abdul Wahab Hasbullah, Tambakberas, putra Kiyai Wahab Hasbullah. Tebuireng juga
berhubungan baik dengan KH Bisyri Syansuri, Denanyar. Kelak, KH. Abdul Wahid
Hasyim, putra Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy, menikahi putri beliau (ibu Gus
Dur). Sementara KH. Bisyri Syansuri juga beriparan dengan KH. Abdul Wahab
Hasbullah. Inilah yang kelak menjadi segitiga pilar NU: Tambakberas - Tebuireng
- Denanyar.
***
Pemimpin dengan Bakat Alamiah
PADA USIA 35 tahun, untuk kali kedua Kiyai Dahlan
menunaikan ibadah haji bersama putranya, Siraj Dahlan yang masih berumur 13
tahun. Selama 1,5 tahun mereka bermukim di Makkah guna memperdalam ilmu fiqih
pada Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Sa’id Yamani, dan Syaikh Sa’id Babusyel.
Beliau juga belajar ilmu Hadis pada mufti mazhab Syafi’i, ilmu falaq pada Kiyai
Asy’ari Bawean, ilmu qiraat (langgam
bacaan al-Quran) pada Syaikh Ali Misri Makkah.
Kepulangannya yang kedua dari Makkah inilah yang kemudian
menjadi tonggak Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah
1330 H/18 November 1912 M. Sahabat santrinya dulu, yang telah dikenal sebagai Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary
mendirikan Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari
1926 M.
Bakat memimpin kedua tokoh ini sejatinya telah muncul
sedari mereka masih belia. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, misalnya. Ia gemar
melerai temannya yang bertengkar, dan merukunkan mereka kembali. Bahkan pernah
kepalanya sampai berdarah terkena pukulan dari salah satu temannya yang sedang
ribut itu. Tapi ia tidak marah dan tidak membalas. Karena sikapnya yang baik,
kedua orang yang bertengkar itu pun akhirnya berhenti, dan merawat kepala
Hasyim kecil.
Semasa masih remaja, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga
pernah menggembala sapi dan kambing ketika nyantri
pada Syaikhuna Kholil Bangkalan. Ia yang merawat, membersihkan kandang dan
mencari rumput bagi hewan gembalaan. Itu dilakukannya semata-mata karena patuh
terhadap titah sang guru. Bahkan pernah suatu hari, ia dengan senang hati
membongkar septic tank dan
mengaduk-aduk isinya hanya demi mencari cincin sang guru yang kecebur di kloset
hingga cincin itu pun ia temukan. Bagi Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, patuh
dan menghormati serta membahagiakan guru adalah segalanya. Dari situlah barokah (berkah) sang guru diharapkan
bisa hinggap. Pada kenyataannya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari memang menjadi
tokoh besar—bahkan “melampaui” gurunya.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga mendalami ilmu
kanuragan, pencak silat. Ini tak lepas dari kondisi sosial yang memang
menuntutnya mempunyai keahlian bela diri. Ketika itu, Tebuireng–tempat tinggalnya
yang baru—termasuk daerah yang berbahaya lantaran masyarakatnya banyak yang
suka mabuk-mabukan, berandalan, penjudi, dan sebagainya. Pernah beberapa kali,
kediaman beliau disatroni penyamun. Itulah sebabnya beliau dan para santrinya
belajar pencak silat, dengan mendatangkan guru ilmu kanuragan dari Cirebon.
Lain lagi dengan Darwisy kecil yang gemar bermain petak
umpet, gobag sodor, dan sepak bola. Ia tak pernah absen bermain bola bersama
teman-temannya ketika menjelang sore. Biasanya, Darwisy dan teman-temannya
bermain sepakbola seusai mengaji pada sore hari di bawah bimbingan Kiyai
Kamaludiningrat di Masjid Gede Kauman.
Darwisy dan kawan-kawannya sering bermain bola tak jauh
dari tempat mereka mengaji, yakni di alun-alun utara, atau sesekali di
alun-alun selatan yang tak jauh dari rumahnya. Walaupun permainan yang
berlangsung sering tidak berpihak pada timnya, tidak menjadikan jiwa dan raga
Darwisy lesu. Ia tetap semangat walaupun telah dicederai pihak lawan. Bahkan ia
tidak mendendam akibat permainan curang itu. Di sinilah etos kedisiplinan dan kejantanan
dijunjung tinggi oleh Darwis.
Tak heran jika kelak Darwisy yang kemudian dikenal
sebagai KH. Ahmad Dahlan berubah menjadi orang besar dan berkharisma dalam
memimpin organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Sejak kecil, beliau secara
alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai. Saat memimpin, beliau
menekankan strategi dan kerja sama yang dibangun bersama dalam tim. Hingga
kini, Muhammadiyah (yang didirikan pada 1912) dikenal sebagai organisasi dengan
kepemimpinan secara kolegial.
Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma
seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi
perbedaan di antara para pemimpin. Berdasar karakter kepemimpinan tersebut,
maka proses generasi pelanjut dapat berlangsung nyaris tanpa hambatan.
Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti sekolah,
rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, tinimbang nama pemimpinnya.
Langkah yang dipilih KH. Ahmad Dahlan demi mempercepat
dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan
mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren
(OSVIA), Magelang, dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis,
Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan
agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Langkah yang ditempuh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy
lain lagi. Beliau memilih mendidik santri Tebuireng dengan balutan semangat hisb al-wathon (cinta bangsa). Hal ini
terbukti pada 1945. Hadratusy Syaikh dan para ulama NU di Jawa Timur
mengeluarkan resolusi jihad, yang mewajibkan umat Islam, terutama kalangan
Nahdliyin, untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya
yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Kewajiban ini merupakan perang suci
(jihad), yang berlaku bagi setiap Muslim yang tinggal radius 94 kilometer dari
Tebuireng. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut, harus membantu
dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang.
KH. Ahmad Dahlan
adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Tersirat
jelas pada sebuah nasihat dalam bahasa Arab yang ia tulis untuk dirinya
sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada
bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan
engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba
engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab (perhitungan), surga, dan neraka. Dari sekalian yang engkau
hadapi itu, renungkanlah yang terdekat padamu, dan tinggalkanlah lainnya.
(Diterjemahkan
oleh Jarnawi Hadikusumo)
Selain itu, kebiasaan KH. Ahmad Dahlan mengajar
pendidikan agama dengan media biola terbilang fenomenal dan tidak lumrah bagi
masyarakat Kauman—tempatnya tinggal—kala itu. Mereka bahkan menganggap apa yang
diajarkan oleh Kiyai Dahlan adalah pelajaran orang kafir. Kendati demikian,
Kiyai Dahlan terus menjalankan kebiasaan ini tanpa merasa takut atau gentar.
Dalam banyak kesempatan ia malah terus bermain biola. Sesungguhnya, dengan
biola, Kiyai Dahlan ingin mengajarkankan pada para santrinya bahwa hidup adalah
keselarasan. Jika tidak selaras sesuai tuntunan agama, maka hidup akan
berantakan. Seperti halnya biola, jika tidak dipetik dengan piawai, bunyi yang
dihasilkan tidak beraturan.
Batas Senjang NU-Muhammadiyah
IRISAN kisah perjuangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy dan
Kiyai Dahlan di atas masih terus berlanjut hingga suatu hari seorang santri
Hadratusy Syaikh melapor, ada gerakan yang ingin memurnikan agama & aktif
beramal usaha dari Yogyakarta. Beliau pun tangkas menjawab, "O kuwi Mas Dahlan. Ayo padha disokong: Itu Mas Dahlan, ayo kita
dukung sepenuhnya.”
Sebagai bentuk dukungan pada perjuangan KH. Ahmad Dahlan,
Hadratusy Syaikh menulis kitab Munkarat
Maulid Nabi wa Bida'uha (Kemungkaran Mawlid Nabi dan Bidahnya). Bagi Hadratusy Syaikh, peringatan itu
banyak bidah & mafsadatnya.
Keunikan lain dari sosok mulia ini adalah, beliau adalah satu-satunya kiyai NU
yang tidak diperingati haulnya
(peringatan kematian). Becermin dari cerita di atas, apakah Prof. Dr. KH. Said
Aqil Siradj berkenan menulis kitab juga untuk Dr. H. Haedar Nashir dan
Muhammadiyah yang ia pimpin sekarang?
Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara
anggota Muhammadiyah vis a vis
kalangan pesantren, Hadratusy Syaikh turun tangan dengan wejangannya yang
meneduhkan, "Kita & Muhammadiyah sama. Kita taqlid qauli (mengambil pendapat ulama Salaf'), mereka taqlid manhaji (mengambil metode)."
Mendapat dukungan sedemikian rupa, KH. Ahmad Dahlan sang
putra penghulu keraton itu amat bersyukur. Sebagai bentuk ucapan terimakasih, beliau
lantas mengirim hadiah ke Tebuireng. Hubungan kedua keluarga mereka pun kian
akrab. Sampai generasi ke-4, putra-putri Tebuireng yang kuliah di Yogyakarta
pasti selalu indekos di kediaman keluarga KH. Ahmad Dahlan di Kauman—termasuk Gus
Dur.
KH. Ahmad Dahlan juga terbiasa mengamalkan amalan-amalan
yang dilakukan oleh kaum nahdliyyin.
Misalnya membaca doa qunut ketika
shalat Subuh, ikut yasinan, tahlilan, dan shalat tarawih 20 rakaat.
Memang saat ini sebagian warga Muhammadiyah melaksanakan shalat tarawih 8
rakaat. Tapi tidak demikian dengan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Beliau terbiasa
melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Kebiasaan KH.
Ahmad Dahlan yang demikian itu tidak terlalu berlebihan. Pasalnya, bersama Hadratusy
Syaikh Hasyim Asy’ari, ia belajar pada ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i, di
Makkah. Tak hanya itu, di dalam kitab fiqih Muhammadiyah (karangan KH. Ahmad
Dahlan) yang asli, pada bab shalat disebutkan bahwa shalat tarawih adalah
shalat dengan 20 rakaat dan setiap 2 rakaat harus salam.
KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah qunut nazilah (qunut yang merujuk pada doa dalam sholat
di tempat yang khusus sewaktu berdiri). Sebab beliau sangat memahami ilmu Hadis
dan fiqih. Pun begitu dengan tarawihnya. Landasannya adalah, penduduk Makkah
sejak berabad lamanya, sejak masa Umar ibn al-Khattab, telah menjalankan
tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang.
Jika dilihat dari pengertiannya, sebagaimana dijelaskan
oleh Ibn Hajar al-Asqallâniy dalam kitab Fath
al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut:
“Shalat jamaah
yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai tarawih karena para
sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam.”
Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan Hadratusy Syaikh Hasyim
Asy’ary, tak pernah bersimpang jalan dalam pelaksanaan ubudiyah (ibadah).
Namun setelah berdirinya Majelis Tarjih di era
kepemimpinan KH. Mas Mansyur (ketua keempat), terjadilah penyimpangan di
sana-sini, termasuk keluarnya putusan tarjih
yang meniadakan praktik doa qunut
dalam shalat Shubuh dan jumlah shalat tarawih yang menjadi 11 rakaat. Alasan
yang dikemukakan Majelis Tarjih adalah; Muhammadiyah bukan Dahlaniyah.
Padahal praktik tarawih di Makkah dan Madinah hingga
sekarang juga tetap 20 rakaat dan tiga witir. Jadi dengan kata lain,
melaksanakannya sama saja meneruskan kesepakatan para sahabat Nabi Muhamamd
Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Beliau.
Hari ini, Muhammadiyah dan NU sudah seperti minyak dan
air. Dua organisasi raksasa dalam skala dunia ini, bahkan seolah sulit
bergandengan tangan—meski itu untuk kepentingan umat—apa pula perkara tarawih
dan qunut. Keduanya sama memiliki
sayap politik. NU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan
Nahdlatul Ulama (PKNU), sedang Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional-nya
(PAN). Jika Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy dan KH. Ahmad Dahlan masih hidup,
kedua tokoh besar itu pasti kecewa berat, melihat organisasi yang mereka bidani
telah melenceng jauh dari spirit kemaslahatan umat. Wallahu a’lam bi as-shawaf. []
Dimuat di Tabloid Matahariku, Edisi ke-IV Januari 2016 h. 22
No comments:
Post a Comment