DUNIA kembali di haru-biru oleh berita duka. Di hari kesebelas bulan ketiga 2011, tsunami kembali menggilas manusia setelah tujuh tahun silam menelan ±270.000-an korban tewas di Nangroe Aceh Darussalam, pascagempa 9,1 SR. Jepang yang kini menjadi korban, sudah kehilangan nyawa 10.000-an warganya. Belum ditambah korban luka, material, dan kejiwaan. Tsunami, yang bermakna "gelombang pelabuhan" dalam bahasa Jepang, terjadi akibat deformasi dasar laut yang melahirkan gelombang tinggi. Biasanya setinggi 15-30 meter, seperti pada tsunami Aceh, tapi pernah mencapai 520 meter di Alaska pada 1958. Tsunami, baru saja kembali ke kampung halamannya.
Jepang termasuk negara yang di bawah permukaan tanahnya terdapat lempeng yang masih aktif dan termasuk ke dalam sirkum Pasifik. Sirkum bawah laut ini bermula dari Amerika Selatan di Buenos Aires. Lempeng di bawah bumi Jepang itu patah. Bertabrakan dengan lempeng lainnya. Sebuah Dislokasi Sesar (Tubrukan antar Lempeng) kemudian menyebabkan limpasan air laut berwarna abu-abu, karena berasal dari dasar samudera. Tsunami yang terjadi merupakan akibat dari tenaga eksogen (luar) yang berdampak merusak segala yang menghalangi lajunya, juga bisa menguntungkan. Selaik abu vulkanik yang terdapat pada material gunung. Sisa limpasan tsunami mengandung mineral yang berpotensi menjadi tanah berpasir, atau bisa disebut juga dengan tanah yang dapat meloloskan air untuk meresap ke tanah dan dapat menambah pasokan air di daerah yang kemalangan.
Letak astronomi Jepang berada di antara garis lintang 30º - 50º LU dan 129º - 147º BT. Terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil, luasnya mencapai ± 372.000, hampir 3x luas pulau Jawa. Letak ini berpengaruh secara geologis. Kepulauan Jepang termasuk pulau samudra, yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Pasifik. Daerahnya termasuk labil, karena sering terjadi gempa. Seluruh kepulauan Jepang berada atau dikelilingi Laut Jepang. Di sebelah timur berbatasan dengan Samudera Pasifik; sebelah selatan dengan laut Cina Selatan; di utara ada Laut Okchotsk, dan disebelah barat membentang perairan Korea dan Cina. Jika tsunami datang dari empat penjuru mata angin itu, maka riwayat Jepang pun akan segera tamat seketika.
Dari sekian penelitian akibat gempa, ahli geofisika NASA, Richard Gross mengatakan bahwa akibat gempa rotasi bumi berputar lebih cepat 1,6 mikrodetik (satu-juta per detik). Itu karena pergeseran massa Bumi disebabkan oleh gempa 8,9 skala Richter. Gerak perubahan sumbu Bumi disebut Gerak Presesi dan beberapa penyebabnya adalah gravitasi Bulan dan Matahari. Secara kebetulan, bulan saat ini juga sedang bergerak ke posisi perigee atau jarak terdekat dengan Bumi yang akan terjadi 19 Maret 2011 nanti, sehingga distribusi massa di permukaan Bumi juga akan berubah. Tsunami di Sendai, Jepang kemarin, adalah gelombang ke-27 yang pernah memorak-porandakan dunia ini sepanjang sejarah.
Sekarang, bagaimana kita mesti membincang soal ini jika harus menggunakan sinaran (perspektif) theodesi [theodicy: keadilan Tuhan?]. Haruskah masyarakat Jepang yang merasakannya? Kenapa bukan New York? Mestikah fenomena katastropi itu berkenaan dengan hukuman dari Sang Pencipta? Atau memang hanya gejala alam belaka. Sepengetahuan kami, sedari awal manusia mulai menyekolahkan rasionalitasnya, persoalan ini kerap diperdebatkan untuk kemudian dijawab.
Demi memudahkan penalaran, mari kita gunakan silogisme berikut ini:
Tuhan ada/ Tuhan adalah Baik/Tuhan adalah Maha Kuasa/Tuhan adalah Maha Tahu/Dunia mengandung kejahatan atau keburukan.
Konsep bahwa Tuhan itu Baik dan kejahatan itu ada, diduga berasal dari kaum Manikhean penganut Zoroastrianisme di Persia (Iran sekarang), atau mungkin juga dari agama Hindu. Hal yang jarang terpikirkan banyak orang adalah, Kebaikan Tuhan tak berimplikasi pada kejahatan. Karena kejahatan, merupakan ketidakmampuan kita mencerap nilai Kebaikan Sejati itu ke dalam hidup ini. Melulu murni karena ketiadaan kesanggupan. Selaik ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan dan kelemahan, adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan, kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan (nonexistence, nonbeing, nothingness), maka kejahatan atau keburukan tak membutuhkan sumber atau pencipta, karena penciptaan hanya berhubungan dengan keberadaan (existence, being). Begitu yang diterangkan secara ringkas oleh seorang cendekiawan Muslim Indonesia, Dr. Haidar Bagir, dalam sebuah makalah ilmiahnya.
Model pencerapan seperti itu, terkadang pun masih akan dibenturkan dengan dua hal. Agama dan sains. Dua subjek besar yang kerap bertarung sengit ini, selalu memiliki klaim dan argumentasi tingkat tinggi untuk melakukan apologi atas apa yang diyakini keduabelah pihak. Kalangan agama mengamini bahwa boleh jadi Jepang memang harus dihantam tsunami seperti itu. Supaya mereka sadar dengan kesalahan yang selama ini sudah dilakukan. Kaum saintifik beda cerita. Tsunami Jepang memang takkan bisa dihindari, karena lengkap secara syarat dan potensi. Alam, sudah bekerja dengan caranya sendiri. Mekanika Newton, relativitas Einstein, jadi pisau bedah utama bagi kelompok ini.
Sepintas, kita akan melihat bagaimana tajamnya disparitas kedua golongan itu. Padahal jika ingin merenung lebih dalam. Lebih tenang. Keduanya nyaris seperti sekeping mata uang. Agama memiliki dalil Ilahiah, saintis menggunakan aksioma. Dalil ilmiah adalah upaya manusia brilyan untuk menjawab kerja cerdas Tuhan. Aceh, Jepang, boleh luluh-lantak. Dibabak-bundas oleh samudera. Lantak dihembalang petaka. Sailor Moon, Bleach Speez, One Peace, Conan, Power Rangers, Sinchan, Kapten Tsubasa, Dragon Ball, Hatori, Naruto, memang sudah menyelamatkan diri dengan balingbaling bambu Doraemon. Sedang mbak Miyabi tidak bisa diselamatkan karena belum sempat berpakaian. Tapi adakah diantara kita yang bisa menguak tabir misteri rencana besar apa yang sedang disembunyikan Tuhan dibalik tsunami itu?
Sepahitpahit obat, kita tetap harus menelannya demi mendapatkan kesembuhan. Separah-parahnya musibah, nampaknya memang kita harus menerimanya tanpa bisa ditawar. Jika hal itu tak dibolehkan, sama artinja kita menutup datangnya Kebaikan yang sudah tertabiri kejahatan, kebanalan, yang bersimaharajalela sebelumnya. Catatan singkat ini jelas akan sangat sedikit berkontribusi pada pencarian jawaban. Selebihnya, kami hanya berupaya mendedah selendang misteri penciptaan, yang tak lain adalah satu dari sepersekian milyar usaha manusia untuk bisa mengada. Mungkin. [Kwitang Kramat, 14032011]
No comments:
Post a Comment