Bung Karno dan Islam Kurma



Tulisan ini saya haturkan sepenuh hati pada tokoh besar dunia yang telah menginjak sendiri hak-hak hidupnya demi mengangkat harkat martabat jutaan orang lain yang kerap ia sebut “rakyat manusia.” Tokoh yang kehadirannya di Kota Medan sangat dinantikan oleh Ibunda kami di tepi jalan sambil melambaikan bendera merah-putih yang ia buat bersama teman-teman sekolahnya dari kertas minyak. Mereka rela mengisi barisan di jalan yang akan dilewati sang idola, kendati hanya bisa melihat sekejap sahaja. Sosok ini pula yang ia tangisi kepergiannya dari dunia fana pada 21 Juni 1970, sambil sesunggukan di bawah kolong ranjangnya. Kata Ibu, “Rasanya seperti ditinggal ayah sendiri, bahkan lebih dari itu.”  

            Usut punya usut, nampaknya dari kelakuan Ibu itulah kecintaan saya pada Bung Karno mulai tumbuh, subur—sampaisekarang. Demi merawat asa dan dian yang tak boleh padam, kali ini saya anggitkan sepucuk surat beliau kepada Ahmad Hassan (Hassan bin Ahmad), pendiri Persatuan Islam, Bandung. Surat-menyurat yang kedelapan itu bertitimangsa 22 Februari 1936, saat Bung Karno telah menjalani dua tahun masa pembuangannya dari empat tahun yang diputuskan “pengadilan” kolonial Belanda.

Seluruh isi surat-menyurat kedua tokoh yang sama mencintai Islam itu telah saya bacai dan renungkan. Hasilnya, saya hanya bisa tertunduk malu. Betapa tidak. Di zaman sesulit itu, Bung Karno yang sedang mengalami masa paling menyesakkan dalam hidupnya, masih mau menyempatkan diri membaca begitu banyak rujukan pengatahuan keislaman. Sedari yang beririsan dengan ranah syariat dan fiqh, hingga masuk ke jantung tasawuf. Semua surat yang beliau tuliskan, sarat tenaga. Ada spirit zaman yang ia peram dalam dirinya yang kini nyaris menjadi legenda—bahkan mitos.

Sebelum surat kedelapan itu ditulis Bung Karno, ia sedang kedatangan dua orang tamu yang kemudian sering menyambanginya di rumah pembuangan. Orang yang satu adalah, “seorang guru pesantren dari Jakarta—golongan kolot, dan kebetulan juga seorang lagi golongan muda Banyuwangi...” demikian yang ditulis Bung Karno dalam suratnya itu. Saya akan langsung mencuplik isi surat tersebut dan sengaja menyintas paragraf pertama. Beginilah bunyi dari itu surat.

“Karena rupanya berhadapan dengan orang interniran (buangan—pen) politik, maka kawan muda itu bertanya: bagaimanakah siasatnya, supaya zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali? Saya punya jawaban ada singkat:

“Islam harus berani mengejar zaman. Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat “mengejar” seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam-glory yang dulu, bukan kembali kepada “zaman khalifah,” tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman, itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kita toh selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi “zaman khalifah” yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800, atau 900 Masehi? Masyarakat toh bukan suatu gerobak yang boleh kita “kembalikan” semau-mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang “kemudian,” dan tak mau disuruh kembali!

Kenapa kita mesti kembali ke zaman “kebesaran Islam” yang dulu-dulu? Hukum syariat? Lupakah kita, bahwa hukum syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan fardhu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada barang “mubah” atau “jaiz”? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah dan jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, “boleh ber-qiyas, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh ber-radio (menggunakan radio), boleh berkapal udara, boleh belistrik, boleh bermodern, boleh ber-hiper-hiper modern,” asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan berfaedah bagi umat Islam, yakni perjuangan menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam ortohodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka. Perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan tatkala ia berkata bahwa, “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam masjid memutarkan tasbih, tetapi Islam ialah perjuangan.” Islam is progress: Islam itu kemajuan!

Tindakan-tindakan Ulilamri-ulilamri di zaman Islam-glory itu tidaklah, dan tidak bolehlah, menjadi hukum bagi umat Islam yang tak boleh diubah atau ditambah lagi, tetapi hanyalah boleh kita pandang sebagai tingkat-tingkat perjalanannya sejarah, merely as historic degrees.

Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam mengerti falsafahnya historic degrees ini, membangunkan kecintaan membunuh segala “semangat kurma” dan “semangat sorban” yang mau mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan tahun yang lalu, kecintaan berjuang mengejar zaman, kecintaan berqiyas dan berbid’ah di lapangan dunia sampai ke puncak-puncaknya kemodernan, kecintaan berjuang melawan segala sesuatu yang mau menekan umat Islam ke dalam kenistaan dan kehinaan?

Kabar Ende sehat walafiat. Bagaimana di sana?

Wassalam

Sukarno 



No comments:

Post a Comment

Total Pageviews