Tulisan di bawah ini sebagiannya sudah pernah saya baca pada medio awal 2000-an saat masih nyantrik di rumah Mas Radhar Panca Dahana. Sebagai pengurus perpustakaan beliau, saya memiliki akses penuh tuk membaca ribuan buku dan manuskrip miliknya. Maka itu pula, saya langsung mafhum jika beliau laik disebut salah seorang manusia tecerdas yang pernah dilahirkan di negeri kita. Satu dari sedikit kuncen kebudayaan yang mau bertungkus lumus menjaga khazanah dan warisan budaya bangsa Nusantara. Terkait hal yang satu ini, ternyata masih berhubungan erat dengan Rendra (l. 7 November 1935).
Ya, Mas Willi (nama beken Rendra di hadapan para muridnya, yang terambil dari potongan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra), adalah mentor Mas Radhar semasa ia masih berstatus sebagai siswa SMA 70, Bulungan, selatan Jakarta. Sedang saya, juga nunut manut pada Mas Radhar selaku induk semang dalam segala hal yang bernuansa belajar. Satu di antaranya, teater. Jadi, kami bertiga diikat erat oleh jagat perteateran. Ranah yang kemudian sama mengantarkan kami pada dimensi spiritual dari kehidupan.
Beda tegasnya adalah, kemusliman Mas Willi jelas lebih menarik dijadikan bahan renungan. Selain karena beliau telah ditahbis sebagai Guru Bangsa dan lokomotif kebudayaan sebagai Bapak Teater Moderen Indonesia. Hal ini bisa rekan pembaca temukan dalam buku Menonton Bengkel Teater Rendra yang rampung disusun Edi Haryono pada 2013 dan diterbitkan oleh Burung Merak Press. Dalam salah subbab buku tersebut, terdapat tulisan Mas Willy sendiri tentang proses pertemuan batinnya dengan Islam saat memanggungkan Kasidah Barzanji di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Begini kisahnya.
***
Ketika itu saya tinggal serumah dengan Syu'bah Asa. Saya sering meledeknya, "Mana itu seniman Islam? Kalian kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?" Mendengar ledekan itu Syu'bah lebih sering diam saja. Kadang saya malah penasaran. Gambaran tentang orang Islam dalam benak saya memang buruk sekali: mereka tak ramah, tak cukup kreatif, dan sebagainya.
Ketertarikan saya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful 'Anam dan al-Barzanji yang diterjemahkan Syu'bah. Syair-syair ini adalah kasidah pemujaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Di situ, Beliau digambarkan menambal ghamisnya sendiri; jika berjalan dengan para sahabatnya, selalu berjalan paling belakang; Beliau juga amat menyukai anak-anak; dan, jika tangan seorang sahabat beraroma wangi, orang akan berkata, "Tangan ini pasti baru disentuh Nabi." Bukankah ini artinya Nabi suka bergaul?
Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, "Boleh kan saya ikut terharu, dan ikut numpang kagum pada Muhammad?"
Saya pun memutuskan, Bengkel Teater akan mementaskan Barzanji. Kemudian saya pergi ke banyak masjid, lantas tiduran di dalamnya. Saya perhatikan banyak orang yang shalat, dan seorang teman menjelaskan artinya. Jadi saya mendapatkan objek pengamatan yang menarik. Inilah yang kemudian saya ekspresikan dalam teater, yang dipentaskan di Teater Terbuka Pusat Kesenian Jakarta, pada 23-24 Juni 1970.
Saya pun memutuskan, Bengkel Teater akan mementaskan Barzanji. Kemudian saya pergi ke banyak masjid, lantas tiduran di dalamnya. Saya perhatikan banyak orang yang shalat, dan seorang teman menjelaskan artinya. Jadi saya mendapatkan objek pengamatan yang menarik. Inilah yang kemudian saya ekspresikan dalam teater, yang dipentaskan di Teater Terbuka Pusat Kesenian Jakarta, pada 23-24 Juni 1970.
Tetapi, bahkan ketika itu saya masih belum tertarik masuk Islam: sebab masih dirundung ketakutan jika daya cipta saya nanti mati! Gambaran buruk bahwa orangorang Islam itu tidak ramah memang terbukti. Pementasan Barzanji, sukses. Tapi seusai pementasan, seorang anggota keamanan memanggil saya dan menunjukkan tumpukan batu bata yang disembunyikan di bawah panggung.
"Mas, lihat itu! Batu-batu itu disiapkan untuk melempari Anda, kalau penonton tidak puas," katanya.
"Wah.. Tak mungkin," Saya langsung protes dalam hati.
"Wah.. Tak mungkin," Saya langsung protes dalam hati.
Saya bahkan berbicara, syukurlah saya bukan orang Islam. Sepulang dari pementasan itu, saya ceritakan soal batubatu itu kepada Syu'bah. Ledekan saya pun kembali meluncur.
"Bagaimana orang Islam itu?"
Syu'bah menjawab, "Sudahlah, Mas, saya sibuk. Besok ujian."
Syu'bah menjawab, "Sudahlah, Mas, saya sibuk. Besok ujian."
Beberapa waktu kemudian saya mengajak Syu'bah.
"Bah, yuk ke pantai, melihat senja."
"Bah, yuk ke pantai, melihat senja."
Syu'bah tak mau karena ia sedang belajar untuk ujian. Kebetulan ada beberapa teman yang datang bawa mobil. Bersama mereka, saya meluncur ke pantai Parangtritis, menikmati senja.
Beberapa saat setelah menatap laut luas pada senja itu, sekonyong-konyong saya merasakan badan diterpa kenikmatan luarbiasa; kenikmatan badan bersama hembusan angin. Seluruh anggota tubuh terangsang hingga ke bulubulu mata, sampai masuk telinga. Luarbiasa! Kenikmatan ini melebihi orgasme. Ini adalah nikmat badan, nikmat syaraf, sampai ke ujung-ujung. Saya seperti terkapar, tanpa tahu persis sebabnya. Ini sesuatu yang gaib.
Kenikmatan ini berlangsung beberapa saat. Lalu tibatiba sepenuhnya saya sadari, tangan kiri saya telah terlipat di dada; tangan kanan terangkat tegak lurus, telunjuk mengacung ke langit, dan "Asyhadu alla ilaha wa asyhadu anna Muhammadarasulullah" terlontar dari mulut saya.
Kenikmatan ini berlangsung beberapa saat. Lalu tibatiba sepenuhnya saya sadari, tangan kiri saya telah terlipat di dada; tangan kanan terangkat tegak lurus, telunjuk mengacung ke langit, dan "Asyhadu alla ilaha wa asyhadu anna Muhammadarasulullah" terlontar dari mulut saya.
Sejenak kemudian saya kebingungan sendiri.
"Lho... Aku tadi kok... Boleh dikatakan aku ini Islam." Tapi kemudian saya tukas sendiri.
"Tidak, bukan 'boleh dikatakan,' tapi aku ini Islam!”
Tidak usah di Islam-islamkan. Saya Islamkan diri saya sendiri. Lalu intelek saya mengambil alih.
"Ha, untuk menjadi Kristen saja saya perlu dibaptis, bahkan untuk komuni saja saya harus melalui pastur. Tapi sekarang saya mengislamkan diri sendiri. Aku Islam!" Begitu saja.
"Tidak, bukan 'boleh dikatakan,' tapi aku ini Islam!”
Tidak usah di Islam-islamkan. Saya Islamkan diri saya sendiri. Lalu intelek saya mengambil alih.
"Ha, untuk menjadi Kristen saja saya perlu dibaptis, bahkan untuk komuni saja saya harus melalui pastur. Tapi sekarang saya mengislamkan diri sendiri. Aku Islam!" Begitu saja.
Saya lalu pulang dan bilang kepada Syu'bah.
"Bah, aku Islam."
"Yaa... Ya..." Syu'bah menjawab tak acuh.
"Sekarang ajari aku shalat."
"Ampun, Mas. Aku lagi mau ujian. Lain kali saja kalau mau bergurau."
"Lho, kok bergurau? Aku bener-bener, nih." Tapi dia belum mau percaya.
"Yaa... Ya..." Syu'bah menjawab tak acuh.
"Sekarang ajari aku shalat."
"Ampun, Mas. Aku lagi mau ujian. Lain kali saja kalau mau bergurau."
"Lho, kok bergurau? Aku bener-bener, nih." Tapi dia belum mau percaya.
Hari berikutnya saya pergi ke Jakarta. Sepanjang jalan di dalam kereta api, saya menikmati suasana karena pengalaman luarbiasa sebelumnya—kendati saya tak tahu proses mendapatkan pengalaman di Parangtritis itu.
Kebetulan, saya sampai di Jakarta hari Jum'at. Ketika itulah saya bertemu Taufiq Ismail. Saya bilang:
Kebetulan, saya sampai di Jakarta hari Jum'at. Ketika itulah saya bertemu Taufiq Ismail. Saya bilang:
"Saya ingin shalat Jum'at nih."
"Ya. Itu bagus," katanya.
"Tapi saya belum hapal bacaan at-Tahiyat-nya. Baru hapal al-Fatihah dan Qulhu (surat al-Ikhlas, red.) Bagaimana ini?”
Akhirnya Taufiq menulis bacaan at-Tahiyat di atas selembar kertas Padalarang—yang saya jadikan sajadah agar sambil shalat bisa membaca sambil menghapal bacaannya.
“Inilah shalat pertama saya.”
"Ya. Itu bagus," katanya.
"Tapi saya belum hapal bacaan at-Tahiyat-nya. Baru hapal al-Fatihah dan Qulhu (surat al-Ikhlas, red.) Bagaimana ini?”
Akhirnya Taufiq menulis bacaan at-Tahiyat di atas selembar kertas Padalarang—yang saya jadikan sajadah agar sambil shalat bisa membaca sambil menghapal bacaannya.
“Inilah shalat pertama saya.”
Sebagai insan perteateran, seni secara umum, saya kenal dekat dengan beberapa orang yang menjadi saksi awal keislaman Mas Willi. Demi mempertahankan nama W.S. Rendra yang sudah ia pakai ketika masih Katholik, akronim itu ia ganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Sejak membaca dan mendengar cerita ini berulangulang dari para senior di teater, saya tak sanggup menyembunyikan rasa malu tentang keislaman sendiri. Saya tak pernah benarbenar menjadi seorang Muslim. Islam saya baru sebatas keturunan belaka. Tak lebih. Saya tak pernah mencari api dan spirit Islam yang sejati. Islam yang dalam al-Quran disebut sebagai Rahmatan li al-‘Alamin (Rahmat bagi semesta Alam) itu, tak sanggup saya ejawantahkan dalam kehidupan harian. Saya selalu luput bersujud, pasrah dan menyerah kalah pada Allah Penguasa jagat raya. []
Omah Prabata, 8 Jumadil Awal 1437 H
No comments:
Post a Comment