SEMASA kecil dulu, saya dan kawan sepermainan tumbuh-besar dalam keragaman yang meriah. Kami sering melihat segelintir kawan dari suku Batak yang keluar-masuk gereja. Sampai akhirnya kami pun tahu bahwa gereja adalah rumah ibadah umat Kristen. Singkat cerita, kami pun membuat kesimpulan sembarangan, suku Batak itu beragama Kristen. Semua yang Kristen, adalah orang Batak. Kacau tapi lucu.
Hal yang sama, terjadi pada kawankawan bersuku Jawa. Mereka akrab dengan langgar dan masjid. Kesimpulannya, orang Jawa pasti Islam. Sebagian dari orang Islam, ya dari suku Jawa. Anehnya, pelabelan begini tak berdiam kaku. Kami tetap asyik bermain dan belajar. Bahkan kami sering berkunjung ke rumah kawan yang beragama Kristen jika tiba waktu Natal. Pun sebaliknya dengan mereka.
Sejauh yang bisa saya ingat, hampir tak pernah kami bertengkar atau sampai berkelahi bila berurusan dengan perkara keyakinan. Kami malah lebih sering bersitegang, bila sudah menyangkut harga diri orangtua yang namanya disebut ketika pembagian rapot per triwulanan. Masingmasing dari kami akan berlomba merebut rapot kawan atau purapura melihat peringkat belajarnya, sekadar ingin mengetahui siapa nama bapaknya yang asli. Perkara ini bisa berbuntut panjang. Bahkan bisa sampai menjadi duel menegangkan antar ketua geng. Seru, dan asyik.
Terkait soal agama, kami malah tak pernah—setidaknya gagal paham apa bedanya Islam dan Kristen, sebagai dua agama mayoritas di Tanah Deli. Kami hanya menganggap itu tak lebih seperti sebuah label yang tak jua bisa menjadi pembeda. Kami kadung hidup rukun. Kadung hidup tenteram. Adem ayem. Kami tak pernah takut duduk di kelas yang sama jika kawan Kristen sedang belajar tentang Injil. Pun sebaliknya. Kami jauh lebih takut bila lewat di depan rumah mereka. Karena pasti dikejarkejar anjing piaraannya. Ya, suku Batak memang gemar sekali memelihara anjing. Macammacam sama mereka, urusannya pasti dengan anjing yang dilepas dari ikatannya. Ampun...
Beberapa tahun belakangan ini saya baru menyadari, bahwa dari situlah titik tenggang paling harmonis dimulai. Kami tumbuh sebagai anakanak beragama secara wajar. Dalam kepolosan dan kenaifannya sendiri. Satu dan yang lainnya tak ada yang lebih baik dan unggul. Semua sama di mata Pak Saragih, wali kelas kami semasa SD.
“Mau kau Muslim atau Kristen (dengan penekanan pada huruf é), tak ada gunanya, kalau kau tak bisa berhitung dan membaca. Apalagi tak juara kelas. Tak juara dalam hidupmu nanti!”
Jujur, kami jauh lebih takut pada guru perbawa itu tinimbang pada neraka dan surga. Karena dua tempat itu sama sekali tak menguarkan aura menakutkan saat kami mengenalnya. Kami beruntung, bisa belajar mengenal Islam tanpa teracuni doktrin dan dogma. Pak Saragih berhasil mendudukkan kepentingan belajar dalam hidup, pada tingkat yang paling masuk akal. Paling mudah dimengerti. Ibu Grace, guru honorer cantik, yang mengajari kami Islam tingkat dasar itu, juga berhasil membuat kami mencintai Allah, Nabi Muhammad Saw, al-Quran dan al-Hadits, dengan caranya yang anggun. Ia mampu mengarahkan sudut pandang kami sehingga meyakini bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah tuntunan terbaik bagi mereka yang memang ingin menjadi yang terbaik dari yang paling baik.
Maka jadilah aura belajar di kelas kami kian semarak. Peringkat kelas pertama sudah seperti Piala Champions yang diperebutkan oleh puluhan tim-tim sepakbola terunggul di Eropa. Kami yang Muslim dan kawan yang Kristen, seolah tak ingin kalah dari perebutan posisi prestisius itu. Sebagai anak Muslim, saya pribadi malu jika gagal menjawab soal matematika, gagal jadi pemenang dalam permainan kasti, gagal ujian, apalagi gagal mencuri hati kawan sekelas yang paling jelita.
Hari ini, nampaknya fakta yang pernah kami alami dulu, terbalik sudah. Hampir sulit rasanya menemukan anakanak sekolah yang gemar berkunjung ke rumah ibadah rekan sekelas dan sepermainannya, atau menghadiri perhelatan agama selain agama yang ia yakini. Anakanak zaman kini, kadung keracunan doktrin. Kesurupan dogma. Bertungkus lumus dalam pahala dan dosa. Belajar agama malah membuat mereka menjadi alien di masyarakatnya. Malah menjauhkan mereka dari fenomena sosial yang harus dihadapi. Melamurkan pandangannya dari apa yang paling sejati dalam hidup kita.
Atas kemunduran luarbiasa parah ini, saya turut prihatin dan berduka. Sebagai pengemban amanah zaman, kita tak bisa terus begini. Islam, atau apa pun agama yang ada di sini, harus jadi tolok ukur keberhasilan kita melakoni hidup secara baik dan benar. Bukan sebaliknya. Malah jadi agen kehancuran peradaban. Semoga waktu kita cukup... []
Omah Prabata, 3 Jumadil Akhir 1437 H
No comments:
Post a Comment