Kala Athena direjam politik busuk kaum sofis (ahli debat), Socrates berujar dengan ketenangannya sebagai filosof kawakan, “Satu – satunya yang kutahu adalah, aku tak tahu apa pun.” Ia berkata begitu lantaran para petinggi polis Athena menuduh Socrates menyesatkan para pemuda dengan semua pertanyaan yang ia ajukan ikhwal keberadaan manusia di semesta raya. Socrates sama sekali abai bahwa ia adalah manusia paling bijak di negeri mitologi itu.
Socrates tetap tak jera, meski ia harus terpaksa minum racun demi sebuah tuduhan tak berdasar. Kawan – kawan terdekatnya sudah menawari bantuan agar ia bisa melarikan diri. Namun ia malah meyakini sebaliknya, “Jika aku mangkir dari hukuman ini, sama saja aku mengamini tuduhan mereka.” Pak Tua bijak bestari itu pun mati menenggak racun. Tapi siapa sangka, namanya harum sampai kini. Apa dasarnya? Kebenaran yang diperjuangkan.
Socrates termasuk orang yang sangat percaya dengan suara dari dalam dirinya. Suara purba yang terus bergaung sebagai fitrah kemanusiaannya. Suara yang terus merambati waktu dari masa lalu, singgah dalam ingatan, jadi kegelisahan, berubah pikiran, lantas mewujud pengetahuan: kebijaksanaan. Apa yang sejatinya kita alami bila ingatan sedang bekerja? Kenapa ingatan itu ada? Lalu apa pasalnya ingatan menguap dalam lupa? Di mana mengendapnya ingatan kita selama ini? Apakah ingatan itu akan kita bawa sampai mati? Jika tak ada ingatan, apa jadinya hidup manusia selama ini?
Ketahuilah… Dalam ingatan, Tuhan menitipkan rahasia besar misteri kehadiran kita di semesta ciptaan.
Dimuat di Latarsastra.com pada 17 Februari 2017
No comments:
Post a Comment