Merayakan Kemanusiaan
Perang besar di Timur Tengah sejak satu dekade silam—yang digelorakan sebagai Perang Salib jilid baru, ditengarai bakal menghapus peta dunia Islam di jazirah yang dilintasi Sungai Eufrat dan Tigris. Sebagian besar alasan perang pecah di sana, dilandasi perebutan kue ekonomi yang berkedok agama. Perang yang sejatinya adalah kulminasi keputusasaan manusia mencari kebenaran. Selain itu, juga dilatari nafsu serakah menjarah kekayaan alam negeri—yang pernah melahirkan para Nabi. Itu baru di Timur Tengah, belum perang saudara yang tengah berkecamuk di bumi Afrika. Dunia kita seolah menuju titik nadir. Kedamaian hidup manusia, digerus keserakahan dan nafsu angkara.
Pendakuan manusia pada benar-salah, hanya perulangan cerita abad ke alaf. Tapi soal inilah yang kerap menghantui peradaban mana pun yang pernah ada. Agama, sebagai lokus utama yang mengajari manusia kehidupan setelah di dunia, kerap ditunggangi kepandiran. Agama dan penganutnya tak berjalin kelindan. Ia turun demi kebaikan manusia. Dilahirkan Langit, agar manusia tahu ke mana ia harus pamit, Pulang. Menganut agama, sama belaka dengan merangkul angin. Jika tak bisa dirasakan, maka belum absah disebut jalan hidup yang lurus.
Para Nabi pembawa dan penganjur agama, tak pernah sekali pun menyebut diri merekalah yang paling benar. Mereka bukan pemabuk agama. Mereka hanya mengingatkan dan mengajak manusia yang mau menekuni perjalanan menuju Keabadian. Kembali ke sumber. Kembali ke asal. Hidup di dunia bukan tentang agama apa yang kita yakini, melainkan bagaimana hidup yang kita lalui dilandasi kebajikan dan kebijaksanaan. Jalan menuju kebenaran bisa serbaaneka. Namun kebenaran hanya satu jua—Tuhan sahaja.
Menghakimi Tuhan
Bagaimana mungkin Tuhan yang tanpa batas itu tak bisa didekati dengan cara apa saja? Padahal Dia menyelubungi semesta secara zhahir dan bathin. Ada sekaligus Tiada. Ada dalam rasa, karsa, cipta. Tiada satu pun yang menyamainya. Tan keno kinoyo ngopo. Laytsa kamitslihi syai'un.
Kenapa selalu saja ada segelintir orang yang dengan gegabah meyakini bahwa ibadah yang ia lakukan, atau perilaku beragamanya pasti benar dan diterima tuhan? Sedang tak satu pun umat beragama di zaman ini yang pernah melihat langsung para Nabi dan Rasul menjalankan ibadah dan hidup kesehariannya. Pun jika Hadits—dalam kasus Islam misalnya, yang dijadikan tolok ukur, tetap saja itu hanya sebuah kabar. Bukan kebenaran itu sendiri. Jangankan mengetahui kebenaran, memahami tujuan kita dilahirkan saja sudah runyam.
Sejatinya, Kebenaran yang jelas paling Benar, hanya Dia saja yang tahu. Apa salahnya membiarkan setiap orang mencari jalan kebenaran yang sudah digariskan tuhan baginya. Apa susahnya menyadari bahwa kita semua sama tak tahu bahwa yang terbabar di alam semesta ini hanya senda gurau, lalu mengapa kita saling berbalahan mencabut pisau. Jika memang ada orang yang berani mengerangkeng kebenaran sedemikian rupa, tampaknya ia lebih pantas menjadi tuhan.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari permainan dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orangorang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian memahaminya?” (QS. al-An'am [6]: 32)
Saat ini, sulit kiranya bagi kita menemukan kesantunan dalam beragama. Cinta dan welas asih yang menjadi spirit utama agama, menguap entah ke mana. Sementara anjuran itulah yang bertebaran di semua kitab suci agama manusia. Baik yang turun dari Langit (samawi), pun yang dianggit di bumi (ardhi). Sekadar menyegarkan pemahaman, berikut ini saya nukilkan sebuah kisah sederhana dari masa limabelas abad silam.
Seorang kepala kabilah di Yamamah—lahan subur pemasok bahan makanan bagi penduduk Makkah—yang secara sengit dan keji, getol memusuhi dan memerangi Islam, Tsumamah Ibn Ustal al-Hanafi, tertangkap oleh satuan pasukan di bawah komando Muhammad bin Maslamah. Selama ditawan kaum Muslimin di salah sebuah tiang Masjid Nabawi, Rasulullah Saw pun memperlakukan tahanan kakap pemimpin Bani Hanafi itu secara istimewa.
Kali perdana menemuinya, Rasulullah mengantarkan sarapan berupa susu dari onta miliknya sendiri, sambil menanyakan kabar, yang lalu dijawab, “Aku baik-baik saja, wahai Muhammad. Jika engkau ingin membunuh, berarti engkau akan membunuh seseorang yang masih memiliki darah. Jika engkau mau memberi makan, maka engkau memberi makan orang yang bersyukur. Jika engkau menghendaki harta benda, sebutkan saja, niscaya engkau akan mendapatkannya sesuai keinginanmu.” Pernyataan itu didiamkan saja oleh Rasulullah. Ia hanya mengulum senyum di wajahnya yang teduh.
Kejadian itu terus berulang sebanyak tiga kali, hingga kemudian Rasulullah berkata, “Lepaskanlah Tsumamah!” Maka para Sahabat pun melepasnya. Sambil terkejut melihat perlakuan Rasulullah yang di luar nalar manusia biasa, tanpa kata-kata, Ibn Ustal pun meninggalkan kawasan Masjid Nabawi—dengan seribu pertanyaan nirjawaban.
Ketika tiba di kebun korma dekat sebuah oase—tak jauh dari kawasan Masjid Nabawi, Ibn Ustal pun mandi, kemudian berbalik arah menuju Masjid Nabawi, menghadap Rasulullah lalu bersumpah, “Hai Muhammad! Demi Allah, tidak ada sebelum ini wajah yang paling kubenci di dunia selain wajahmu. Namun kini wajah yang paling kucintai adalah wajahmu. Demi Allah, tidak ada sebelum ini agama yang paling kubenci di muka bumi, selain agamamu. Kini agama yang paling kucintai adalah agamamu. Aku ingin naik kuda milikmu karena ingin melaksanakan umrah,” ujarnya mantap. Rasulullah pun mengabulkan permintaan itu dan meridhai Ibn Ustal berangkat umrah ke Makkah al-Mukarromah.
Kemerdekaan Manusia
Mengenang kelahiran sama dengan menelusur jejak kehadiran kita, dan akan ke mana kita setelah saat ini. Satu dua hari berlalu, tentu berbeda dengan satu dua tahun membeku—dalam kenangan. Kian rumit lagi jika sudah satu-dua dekade yang silam jadi sejarah waktu. Itulah kenapa bila melihat ke depan, terkadang tampak seperti menatap ke belakang.
Benarkah riwayat manusia abad ini tumbuh? Jika benar, kenapa yang terlihat malah kegalatan?Peradaban nampak maju berkembang. Namun kehidupan manusia mundur jauh ke belakang. Daya ingat manusia melemah. Wawasan semakin payah. Wacana tak lagi kritis. Jiwajiwa manusia mengering-menangis. Anakanak jadi lebih cepat dewasa. Sementara para orangtua berlomba lari ke masa lalunya. Sungai kehidupan kita menyusut jadi dangkal. Samudera ilmu menguap ke langit dan kembali ke asal.
Bela pati manusia kehilangan elan perjuangan. Tiada lagi yang bisa diharapkan kecuali harapan itu sendiri. Kita kesulitan membedakan kekeluargaan, kesukuan, kewargaan, kependudukan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan. Ditambah kerumitan meletakkan agama dan keyakinan di antara itu semua.
Sebagai bangsa, kita Indonesia. Maka lahirlah sebuah negara. Namun kelahiran bangsa Indonesia, belum berbanding lurus dengan kemerdekaan bangsa manusia untuk bertumbuh-kembang. Penjajahan di atas dunia belum benar-benar terhapuskan. Sebab manusia masih dijajah hidupnya sendiri. Hidup yang kian sulit ia mengerti. []
Dimuat oleh www.nu.or.id pada Ahad, 26 Februari 2017 | 13:00
Label
Sosiologi,
Spiritualitas,
Timur Tengah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment