Bangsawan Pikiran


Dari Blora pada 1880, lahir seorang pembaru zaman yang dibesarkan dalam keluarga priyayi yang kritis menyelimpang kolonialisme Belanda. Raden Mas Jokomono Tirto Adhi Suryo, begitu nama yang disandangnya. Saat sebagian besar anak bangsawan Jawa di masa itu tenggelam dalam kesenjangan, Tirto memilih mendirikan Sarekat Priyayi pada 1906. Dua tahun lebih awal dari Budi Utomo, bentukan dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi yang dibangun Tirto pada usia ke-26 ini, kelak jadi saingan utama Sarekat Islam dengan Cokroaminoto yang garang.

Api semangat Tirto dan Cokro, sama belaka: melindas tirani. Keduanya anak priyayi. Namun kebangsawanan mereka tak melulu darah. Sebagai generasi penutup Abad-19, merekalah purwarupa sekaligus cikal kelahiran bangsawan tercerahkan. Setelah Sarekat Priyayi, Tirto melanjutkan perjuangannya dengan membentuk koran Medan Priyayi (1907). Surat kabar pertama di negeri ini yang menggunakan bahasa Melayu. Wahana penyambung gagasan perjuangan ke pembacanya. Bersama Medan Priyayi, Tirto merobek jalan kolonialisme dengan pena setajam belati.

Gubernur jenderal Hindia Belanda, Van Heutz, sampai harus dua kali membuang Tirto dari Tanah Jawa. Bahkan saking “berbahayanya” Tirto saat itu, jika arsip tentangnya direntang, bisa sepanjang lima kilometer. Cara terakhir yang dipakai Belanda untuk membenam Tirto, memasukkannya dalam “rumah kaca.” Fakta tentangnya, membuat Pramoedya terinspirasi mengarang tetralogi novel monumental Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Sosok Minke dalam novel itu, adalah Tirto yang kemudian tumpas nafas juangnya pada 1918. Tokoh besar ini menuju liang lahat dalam iringiringan sederhana saja. Tak banyak orang yang tahu, saat itu jasadnya sedang dibawa ke kota hujan dan zaman baru yang dihelanya–mulai bergerak. Kini, jurnalisme yang pernah ia bangun dengan darah dan airmata, berubah haluan. Terjun bebas ke titik nadir kemunduran.


Dimuat di Latarsastra.com

Blender, 27 Februari 2017

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews