Kemunduran Peradaban Kita


Lebih dari seabad usai Einstein menerbitkan Teori Relativitas Khusus pada 1905, yang mengubah mekanika kuantum, mekanika statistika, dan kosmologi, ternyata wajah dunia modern tak sepenuhnya berubah.

Zaman kita memang melesat tak tertahankan. Teknologi lah yang jadi moda penggeraknya. Segala hal dalam kehidupan kita sontak mengalami revolusi besarbesaran.
Transportasi, komunikasi, perdagangan, sosial-budaya, agama, pendidikan, dan politik, adalah ranah yang paling cepat terpapar dampak teknologi terbaru.
Adab manusia seketika berubah. Masuk ke dalam siklus yang sama sekali belum pernah ada presedennya.
Negara penguasa teknologi terdepan seperti Amerika, Jepang, Cina, Rusia, Israel, Jerman, berlomba memperebutkan sumber daya bumi yang tersebar di seantero dunia.
Kekayaan segelintir orang di enam negara itu, bahkan jauh melampaui pendapatan negara mereka sendiri. Apalagi masyarakat dunia kedua dan ketiga. Jumlah mereka yang hanya 10 persen dari populasi dunia, sanggup menguasai 90 persen kekayaan alam.
Sedang 90 persen populasi dunia, tinggal bertungkus lumus mengolah 10 persen kekayaan alam yang tersisa. Itu pun masih harus dengan bersimbah darah dan airmata. Gerak pertumbuhan dunia kita saat ini, pun kian timpang tak tentu arah.
Mari kita amati Timur Tengah. Prancis dan Inggris yang punya kepentingan terbesar di jazirah, tentu tak tinggal diam dengan aksi brutal ISIS bentukan Amerika dan Israel.
Cina dan Rusia juga tak mau ketinggalan. Dukungan dua negara besar di daratan Asia itu, mengalir sepenuhnya untuk Suriah. Atas nama demokrasi vs komunisme—dan tentu agama, mereka sanggup mengabaikan lima juta lebih nyawa manusia yang telah meregang di sana.
Wajah kehidupan di Timur Tengah pun centang prenang. Agama, kandas ke titik nadir. Tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang tumbuh subur di tanah yang jadi saksi kelahiran para Nabi itu, tak lagi bisa dijadikan tolok ukur peradaban.
Ironisnya, apa yang terjadi di Timur Tengah, malah menyebar sampai ke Afrika; Benua Hitam yang dulunya lazim dikenal sebagai surga yang hilang. Masyarakat dunia tercengang melihat fenomena ISIS dan Boko Haram yang menggiriskan kemanusiaan.
Dunia yang Tak Berubah
Pertanyaan kita sekarang, apa yang menghilang dari peradaban manusia Abad ke-21? Kenapa kemajuan zaman tak berbanding lurus dengan perkembangan peradaban?
Segala pencapaian puncak manusia di zaman kita, sama sekali tak bisa memberi sumbangsih berarti bagi kehidupan umat manusia hari ini.
Sebagai pelanjut generasi terdahulu, kita berkewajiban memikirkan-merenungkan kaidah baru apa yang bisa dikembangkan-diterapkan pada hidup kita sekarang.
Adakah landasan pemikiran dan kebijaksanaan lain yang bisa menuntaskan kecamuk dunia modern yang sedang kita lintasi?

Pertumbuhan dan perubahan cara kita berkomunikasi dengan kehadiran internet—khususnya media sosial, telah "menjawab" kegelisahan umat manusia sejak lama: eksistensi.
Kini, siapa pun manusianya, di mana pun ia berada, tersambung aktif dengan dunia lain. Dunia dalam piksel. Ia dapat melakukan apa saja sekehendak hati. Sesukanya saja. Data yang beraduk dengan informasi, bertumbukan tanpa saringan.
Semua manusia yang terhubung dengan internet dan memiliki akun media sosial, seketika menemukan media penemuan diri yang sebelumnya tak bisa ia dapatkan.
Media sosial, memberi ruang penuh bagi pemilik akun untuk eksis dengan cara masing-masing. Dunia perlu tahu tentang mereka. Tapi mereka tak pernah mau tahu seperti apa wajah dunia senyatanya.
Masyarakat hyperreality seperti ini, adalah fenomena baru abad kita. Mereka abai dengan kenyataan sejati. Bahkan kehilangan empati-simpati pada sekelilingnya. Pada manusia lain.
Wajar jika perang berdarah-darah di Timur Tengah dan Afrika sana, seolah berlalu tanpa simpati. Perang dalam sepi. Kendati ada begitu banyak orang yang mengetahui soal itu, mereka nyaris tak bisa melakukan apa pun. Kecuali hanya berbagi b(c)erita, saling menitip like/love, hingga kemudian melupa.
Corak masyarakat yang kian banal, jadi pemandangan umum dunia kita sekarang. Sedikit saja manusia yang kemudian sanggup menarik diri dari dunia maya yang sarat tipu daya dan membuai itu.

Kaidah Emas?

Karen Armstrong bersama gerakan compassion-nya (welas asih), mengajak kita untuk kembali menerapkan kaidah emas yang telah dikembangkan para pembaru kehidupan dari zaman aksial, seperti Ibrahim, Musa, Zarathustra, Lao Tze, Siddharta, Konfusius, Socrates, Isa, Muhammad Saw, dan Mpu Prapanca.
Jangan lakukan sesuatu yang bila terjadi padamu, kau tak berkenan mengalaminya; Lakukanlah sesuatu yang bila orang lain melakukannya padamu, hatimu senang belaka; Tidak berbuat jauh lebih baik tinimbang melakukan perbuatan yang salah; Hidup sarat makna adalah yang direnungkan.
Lalu pertanyaannya, berapa banyak manusia yang mau melakukan kaidah semacam itu?
Seabad lalu, dunia kita pernah jadi saksi kelahiran-kehadiran manusia adiluhung yang suaranya masih bergema hingga sekarang. Mereka adalah Jean Jaures, Gandhi, Iqbal, Sukarno, Teresa, Mandela, dan Dalai Lama (yang masih hidup).
Mereka tampil sebagai penyintas ruang-waktu, jadi spirit zaman di mana mereka tumbuh berkembang. Kegelisahan mereka melintasi batas terjauh hidupnya. Pemikiran mereka bertahan dari kerapuhan. Kebijaksanaan yang mereka miliki, adalah obat bagi begitu banyak jiwa yang terkoyak—bahkan hingga kini.
Sayangnya, apa yang telah mereka tinggalkan untuk kita, hanya jadi artefak belaka. Kehidupan emas mereka, tak berhasil kita gali.
Atas nama kemajuan zaman, 1.350cc volume otak kita yang terdiri dari 100 juta sel saraf (neuron), sama sekali tak membuat kita bertambah pintar, cerdas, apalagi jenius.
Lantas benarkah hidup kita harus berakhir seperti ini? Sebegitu sulitkah memahami kebaikan dan membedakannya dengan kebenaran? Bila agama adalah pedoman hidup manusia, kenapa umat beragama tak jua selesai memahami kehidupannya?
Mereka justru sibuk bertikai dan berbalahan tentang keyakinan yang jelas tak bisa dibenturkan. Wajah dunia jadi buruk rupa dengan percekcokan mereka yang tiada sudah.
Kita tentu tak bisa menuding kehadiran teknologi sebagai penyebab tunggal kemerosotan umat manusia abad ini. Dibutuhkan perangkat baru pemikiran dan kebijaksanan untuk menanggulanginya.
Jika soal ini terus terabaikan, mari bersiap menghadapi keruntuhan peradaban yang sudah mengintai di depan mata. []

Jakarta, 22 Maret 2017

Dimuat di Kompas.com pada Kamis, 23 Maret 2017 | 06:49 WIB 

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews