BANGSA kita kerap
dianugerahi tuhan sosok waskita yang hidup melampaui zamannya. Manusia terbaik
dan terpilih. Ia hidup tak hanya untuk diri sendiri. Melainkan demi kepentingan
banyak orang. Demi masyarakat yang ia dampingi perkembangannya hari demi hari. Dari
merekalah—yang secara jumlah sangat sedikit itu, para pemuda cemerlang
Indonesia tampil gagah berani di hadapan bangsa lain. Terkhusus di Eropa sana.
Indonesia lahir dengan kegigihan mereka yang tanpa lelah.
Salah seorang manusia waskita itu adalah, Kanjeng
Pangeran Haryo Joyo Kusumo. Ia masih termasuk cucu Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro I alias Pangeran Sambernyowo atau juga
dikenal sebagai Raden Mas Said (Keraton Kartasuro, 7 April 1725 – Surakarta, 28
Desember 1795) yang adalah pendiri Praja Mangkunagaran, sebuah kadipaten tinggi
di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya
bernama Pangeran Aryo Mangkunegoro Kartasuro dan ibunya bernama Raden Ajeng
Wulan.
Ketokohan RM Said berawal dari proses belajarnya di Desa
Mojogedang, Karang Pandan, Karang Anyar, Jawa Tengah. Ia pernah berguru pada
seorang pertapa perempuan bernama Nyai Karang. Ketika berjuang melawan Belanda,
RM Mas Said menggunakan markasnya di desa Nglaroha. Didampingi senopati yang
sekaligus gurunya, Kudono Warso. Semakin hari, ilmu kawijayan RM Said kian mumpuni.
Ilmu RM Said yang sedemikian tinggi kemudian diturunkan
kepada anak-cucunya demi meneruskan perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Salah satu cucunya yang sanggup mewarisi ilmu linuwih tersebut adalah Pangeran Joyo Kusumo. Ia lahir pada 1770 di
Kadipaten Mangkunegoro. Lima tahun sebelum Perjanjian Giyanti (Palihan Negari)
ditandatangani Keraton Mataram yang diwakili Susuhunan Pakubuwono III, Sultan
Hamengku Buwono I (Mangkubumi), dan Nicholas Hartingh mewakili VoC. Sejak 13
Februari 1755 itulah, terbentuk keraton baru hasil pemecahan Mataram, yakni
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Semasa remaja, ia banyak berguru dengan para ulama.
Mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Ia juga
bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurorejo yang
juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V.
Hubungan saudara antara Pangeran Joyo Kusumo dengan para
pangeran dari Kasunanan Solo, menjadikan ia kian akrab dengan sastra Jawa.
Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar 1811 M dan
bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV
memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan
masyarakat, susastra, dan segala permasalahan sosial, sebagai bekal menjadi
raja. Pangeran Anom dibantu Pangeran Mandurorejo dan Pangeran Sosroningrat dalam
menyusun dasardasar pemerintahan, serta meminta Pangeran Joyo Kusumo sebagai
penasihat putera mahkota.
Selain diangkat sebagai penasihat pribadi Susuhunan Paku
Buwono IV, Pangeran Joyo Kusumo diakui sebagai teman para raja atau pembesar,
dalam mengasah ilmu sastra dan kebatinan. Rasa ingin tahunya yang tinggi,
membawanya tiga kali berkeliling Tanah Jawa. Incognito ini juga dibarengi niat memperdalam ilmu kebatinannya.
Pada masa inilah Pangeran Joyo Kusumo menjalin hubungan karib dengan Ronggo
Warsito, Mangkunegoro IV, dalam mengkaji dan bertukar kawruh Jawa.Tidaklah mengherankan jika kemudian Paku Buwono V pada
kemudian hari melahirkan Serat Centini,
ensiklopedia falsafah hidup orang Jawa.
Lantaran melanjutkan perjuangan kakeknya melawan Belanda,
Pangeran Joyo Kusumo pun dikejarkejar pihak kolonial. Akhirmya ia memilih
keluar keraton. Perjalanan panjangnya berakhir di Desa Giri Jaya, lereng Gunung
Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Di dataran tinggi ini, ia melanjutkan pertapaan
selama dua puluh tahun, dan bermukim dengan didampingi dua orang istrinya
tercinta.
Perang Jawa
KISAH pengejaran Pangeran
Joyo Kusumo berkaitan erat dengan peristiwa Perang Jawa yang legendaris itu.
Sebab ia turut terlibat mengatur siasat membantu Pangeran Diponegoro melawan VoC.
Ketika VoC berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, maka tak ayal Pangeran Joyo
Kusumo pun terkena imbasnya.
Alkisah. Pakubuwono V wafat pada 1823. Pangeran Joyo
Kusumo yang sedang berada di Sumedang pun dipanggil pulang ke Solo guna menjadi
penasihat Pakubuwono VI—anak dari sahabatnya itu. Setiba di Solo, ia merasakan
akan ada perubahan besar di bumi Jawa. Ia pun memutuskan bertapa sebentar di Danau
Cengklik, di tepian Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan menuju ke tubir jurangnya, tapi
kelak akan bersinar cerah selaik matahari pagi.’ Masa suram inilah yang
membuat Pangeran Joyo Kusumo sadar bahwa perang akan diiringi wabah kelaparan. Ia
membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan
Raja Jawa kembali menguasai pelabuhanpelabuhan penting di Semarang dan Tuban,
serta menguasai Surabaya. Kalau pesisir timur bisa ditaklukkan, maka impian
Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu
bisa terlaksana?
Suatu hari pada 1824, Pangeran Diponegoro menonjok wajah Patih
Danurejo di Kepatihan, karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda
untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya. Patok jalan itu rencananya akan jadi
jalan penghubung ke pusat kota di Banaran, yang dijadikan tangsi terakhir
Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok
Belanda tanpa izin. Itulah penyulut perkelahiannya dengan Pangeran Danurejo
yang sangat berpihak ke Belanda. Perseteruan ini pun berkembang jadi perlawanan
massa. Sehabis menonjok Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui
pamannya, Pangeran Mangkubumi. Sang paman pun memberi wejangan dengan amat hatihati:
“Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah. Tapi
kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat. Bila kamu memulai perang, hubungi
banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu.”
Pangeran Mangkubumi merujuk agar Pangeran Diponegoro
menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten,
juga menemui Kyai Mojo, ulama yang berpengaruh di Surakarta. Pada Mei 1824,
Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan. Di Banyumas,
ia mendapat dukungan para Kenthol Banyumasan dan bangsawan ningrat. Di pesisir
timur ia beroleh dukungan dari Pangeran Condronegoro II yang menguasai Tuban,
Sidoardjo dan Mojokerto. Sementara di Solo, ia disuruh bertemu dengan
Pakubuwono VI. Pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwono VI adalah pemantik
Perang Jawa yang meletus pada 1825-1830. Sebab dari jaminan Pakubuwono VI
inilah, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan antekanteknya di
Keraton Yogya.
Pertemuan ini berawal dari kunjungan diamdiam Pangeran
Diponegoro ke Kyai Mojo, yang kemudian mengantarkannya ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo,
penguasa Boyolali—bangsawan paling radikal di zamannya. RM Prawirodigdoyo
langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung
Pangeran Diponegoro, dengan berkata, “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada
perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI.” Ia menyarankan agar Pangeran Diponegoro menemui
langsung Sinuwun Pakubuwono VI, yang diperantarai Pangeran Mangkubumi—pamannya
yang terkenal memiliki jaringan pergaulan yang luas. Pangeran Mangkubumi lantas
menghubungi sahabat lamanya, Pangeran Joyo Kusumo, dan meminta Sinuwun agar
berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi lalu datang ke
Solo dan bertandang ke rumah Pangeran Joyokusumo. Di sana telah hadir Pangeran
Jungut Mandurorejo yang juga paman Pakubuwono VI. Di sinilah Pangeran
Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro
bermusuhan dengan pihak Kepatihan.
Pangeran Joyo Kusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan
dengan saksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah cerita diselesaikan,
Pangeran Jungut berkata:
“Akan ada pencaplokan tanah besarbesaran oleh Belanda
untuk kepentingan kekayaan mereka. Sekarang masalahnya berani atau tidak orang
Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut.
Pangeran Joyo Kusumo hanya memejamkan mata dan
mengheningkan jiwanya. Tak lama ia pun berkata:
“Banjir darah akan merebak di Jawa, dan ada gelombang
kelaparan. Tapi setelah itu Jawa akan berjaya, seperti Majapahit. Aku mendukung
dimas Pangeran Diponegoro, sebagai
pemimpinku melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategi. Kalau keponakanku
Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro, maka Solo akan dihantam
habis, dibikin crah, dibuat huru-hara.
Itu malah memperlemah barisan perlawanan. Ada baiknya perjanjian dukungan
dengan Pangeran Diponegoro dibuat diamdiam.”
Kepada Pangeran Mangkubumi, pangeran bermata tajam dan
kumis baplang ini pun berpesan.
"Tunggu saya di Desa Paras, Boyolali. Karena saya dan
Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di Gunung
Merbabu. Setelah bertemu Pakubuwono VI, saya dan Pangeran Jungut Mandurorejo akan
meminta beliau agar mendukung Pangeran Diponegoro."
Maka terjadilah kesepakatan rahasia antara Pembesar
Yogyakarta dan Pembesar Surakarta untuk melawan Belanda. Setelah kesepakatan
Paras, Boyolali, Pakubuwono VI, Pangeran Joyo Kusumo, dan Pangeran Jungut
Mandurorejo serta serombongan pengawal, menuju alas Krendowahono di sekitar
Karanganyar. Di sinilah mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah
ditemani Kyai Mojo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan
kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di
Yogyakarta, dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka
Solo akan memberi datadata intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan
‘perang sandiwara.’ Saat itu, juga hadir seorang sastrawan muda bernama
Ronggowarsito. Kelak dua dasawarsa kemudian, Ronggowarsito merekam peristiwa
ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.
Ketika Perang Jawa berkobar, dan Lasem berhasil direbut
Pangeran Diponegoro, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan
di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam,
Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta. Rencana ini bocor karena ada
pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya yang datang
tengah malam. Pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu,
namun tidak ketemu. Rupanya kereta kuda Pangeran Diponegoro telah dipendam oleh
prajurit Keraton, dan ia meloncati tembok alunalun. Lalu berlari ke arah Pasar
Kliwon. Bersembunyi di sana sampai lima hari.
Pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan
panglima tertinggi Kerajaan Belanda, Jenderal de Kock yang berada di Magelang.
Karena peperangan berlarut-larut, De Kock meminta Diponegoro berunding. Dalam
perundingan yang dijaga ketat pasukan Belanda, De Kock memaksa mengadakan
perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu
ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga ia ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April. Perang Jawa pun usai dengan kekalahan banyak pihak.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan pungkasan perlawanan
bangsawan Jawa. Perang ini banyak memakan korban dan biaya. Di pihak VoC, De
Steurs mencatat korban dari barisan serdadu sebesar 12.749 orang meninggal di
rumah sakit, serta 15.000 orang tewas dan hilang dalam pertempuran. Sekitar
8000 di antaranya adalah tentara yang langsung didatangkan dari Belanda. Total
biaya yang telah mereka kuras, 20 juta gulden. Sementara di pihak pribumi, ada
200.000 orang Jawa yang meregang nyawa. Banyak pedesaan yang mendadak sepi
ditinggal penduduknya. Sebagian besar demi mencari penghidupan baru lantaran
kepala keluarga mereka telah tumpas di medan perang.
Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh
Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya.
Pangeran Joyo Kusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun ia berhasil
melarikan diri ke Bagelen, lalu ke Cilacap. Di kota pesisir ini ini pun ia masih
dikepung banyak pendukung Belanda, dan dengan menyamar sebagai petani, ia berhasil
sampai ke Sukabumi, tepatnya ke Desa Cidahu. Di tempat persembunyiannya ia
menyamar sebagai petani cabe dan padi. Meski ia tetap memakai blangkon dan
destar sebagai penanda kejawaannya. Ia juga mengajar ngaji penduduk setempat. Di Cidahu, Kanjeng Pangeran Haryo Joyo
Kusumo dipanggil Eyang (Kiyai) Santri. Setelah Perang Jawa berlalu duapuluh
tahun, datanglah beberapa orang santri utusan Keraton Surakarta yang mencari
Pangeran Joyo Kusumo. Mereka meminta Sang Pangeran pulang kembali masuk keraton,
tapi ia menolak dan memilih menjadi petani saja. Sejak itu, Eyang Santri
dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Rantai Sanad Guru-Murid
Berbekal umur panjang yang
ia miliki, Eyang Santri turut menjadi saksi kekalahan Keraton Jawa dan
bangkitnya rasa kebangsaan bangsawan pikiran. Ia juga dikunjungi banyak ahli
kebatinan dan pemimpin politik. Perjalanan spiritualnya mampu menghadirkan
Kanjeng Ratu Kidul, Eyang Lawu (Kaki Semar), dan Leluhur lainnya sebagai Guru.
Muridmurid Eyang Santri cukup banyak. Mereka selalu dididik bagaimana menjadi
seorang pemimpin yang baik, dengan landasan budaya Jawa. Pakubuwono IV, Pakubuwono
V, Pakubuwono VI, Pakubuwono IX, Pakubuwono X (ayah "kandung"
Sukarno), Mangkunegoro IV, Mangkunegoro VII, adalah sederet pembesar yang
pernah ngangsu kawruh pada Eyang
Santri.
Selain Sosrokartono, pada 1880-an ia sempat dikunjungi
oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi
pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi zaman modern. Pada suatu pagi
yang dingin, Wahidin naik Gunung Salak dan berupaya menemui Eyang Santri.
Setiba di kediamannya, Wahidin disuruh mandi di kolam yang dialiiri mata air
Gunung Salak, dan bermeditasi. Usai itu, Eyang Santri mengajarkan padanya
tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari
dasardasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah, Wahidin merasa kuat membangun rasa
kebangsaan yang baru dengan mendirikan Budi Utomo. Dirk van Hiloopen Labberton,
ahlli teosofi Belanda, juga kerap datang ke rumah Eyang Santri demi mempelajari
filosofi Jawa.
Pada awal 1900-an, HOS Cokroaminoto dengan ditemani
Sosrokardono juga kerap bertandang ke Cidahu. Bahkan sebelum membentuk cabang A
Sarikat Islam di Garut, keduanya juga meminta doa restu pada Eyang Santri. Bung
Karno ketika masih belajar pada Cokroaminoto di Rumah Paneleh, Surabaya, pun
pernah nyantrik pada Eyang Santri. Pangeran kelana dan sufi Jawa dari
Yogyakarta, Suryomentaram, juga pernah datang berguru padanya saat masih belia.
Manakala Eyang Santri wafat pada 1929 memasuki usianya ke
159, pemuda Sukarno sedang dijebloskan ke Penjara Sukamiskin oleh Belanda—akibat
tiga tahun kegiatan politiknya bersama Partai Nasional Indonesia. Semangat
juang Sukarno yang pernah digelorakan Eyang Santri, tak hamya membawanya ke
penjara. Belanda pun kelak membuang Sukarno ke Ende—nun di timur Indonesia, dan
kemudian ke Bengkulu. Sebagai orang berdarah Jawa-Bali, sangat mungkin
kegelisahan Sukarno tentang Indonesia, juga lahir dari pengajaran Eyang
Santri—sufi besar tanah Jawa.
Muridmuridnya adalah pejuang sejati, pemimpin nasional,
pujangga, cum negarawan. Ilmunya
sudah mencapai tataran alam makrifat. Ia mengajak para muridnya agar jadi “manungso sejati, sejatine manungso,” di mana
nurani sebagai titik dan sumber tuntunan bagi kehidupan, sedangkan pikir
sebagai alat menjalankan tuntunan Ilahi. Ia selalu mengajarkan bagaimana manusia
harus mampu kembali menjadi manusia yang sebenarnya.
Eyang mengajarkan, penyelarasan batin, pikiran, ucapan,
dan perbuatan, akan menuntun manusia menuruti kodrat-Nya. Sukma merupakan
percikan Ilahi, sebagai utusan Sang Pencipta (Hananira, Wakanane Hyang). Pada hakikatnya, bila manusia telah
mampu menyelaraskan dan menyamakan antara batin, pikiran, ucapan, dan
perbuatannya, maka ia telah mencapai tataran makrifat. Inilah “Cakra
Manggilingan.” Jika bisa sampai seperti itu, takkan ada lagi tuntunan lain
kecuali dari Sang Pencipta lewat batin/nuraninya. Suara dalam batin itulah yang
disebut Swara Sejati. Sehingga manusia
pun mampu berada pada posisi “Jumbuhing
kawulo Gusti.” Jadi seorang pemimpin (Gusti = bagusing ati). Laku tapabrata
seperti di atas, akan membawa manusia kembali pada asal muasal kejadiannya.
Kini, makam Eyang Santri di Giri Jaya, ramai dikunjungi
para peziarah dari pelbagai penjuru negeri. Di sekitaran, berdiri beberapa
rumah dari anak keturunannya—termasuk rumah beliau yang sering dijadikan tempat
tetirah para peziarah. Kendati sudah banyak mengalami pemugaran. Di
rumahnya inilah mungkin dulu para pembesar Jawa sering duduk mendengar arahan
Eyang. Sebuah areal pemakaman yang asri nan indah. Berudara sejuk dan menyegarkan
pandangan mata. Nun jauh di bawahnya, terhampar dataran Sunda bagian selatan.
Eyang Santri telah membangun sendiri pesarean ini pada 1913—jauh sebelum ia
mangkat. Sebuah kesadaran weruh
sakdurunge winarah (tahu sebelum waktunya) yang menandakan betapa tinggi
ilmu yang ia miliki. Inilah bentuk ilmu sejati. Sangkan paraning dumadhi. []
Ren Muhammad, 1 Mei 2017
No comments:
Post a Comment