Antara Gempita Liga Champions & Derita Pak Raden


Benua Eropa masih mengharu-biru hingga tadi malam. Fakta di lapangan, dua raksasa sepakbola dunia telah tumbang susul-menyusul. Dimulai oleh Barcelona yang kandas dihempaskan Chelsea, lalu diikuti Real Madrid yang terjungkal di tangan Bayern Muenchen, dini hari tadi. Meski klub asuhan mereka tumpas di Liga Champions, tapi dua jenius sepakbola, Pep Guardiola dan Jose Maurinho, tak ayal adalah seniman lapangan hijau paling berbakat di planet ini. Dua manusia itu sanggup menyihir puluhan juta manusia yang terkena gendam si kulit bundar. Penggemar mereka tak kenal batas usia. Sedari anak paling bau kencur sampai manusia yang kulitnya sudah berbau tanah. 

Di Indonesia saja, Pep dan Mou atau The Special One (sapaan hangat Maurinho), berhasil menyedot perhatian banyak orang. Ada yang sengaja terbang ke Madrid dan Catalan; menonton sambil bergadang; pasang alarm sebanyak mungkin; atau minta dibangunkan istri. Hasilnya bisa diterka. Satu malam jatah shalat tahajjud terbagi dengan sepakbola. Semalam jatah ngelonin istri dan anak, ditelikung. Semalam waktu istirah bubrah demi sepakbola. Demi sebelas orang pemain yang sedang berebutan sebiji bola kulit. Aneh tapi menyenangkan.

Hal yang paling aneh lagi adalah, kesedihan Pep dan Mou juga jadi kesedihan para penggemar mereka. Pun sebaliknya. Seolah dua orang itu memiliki saudara kandung sebanyak setengah manusia di dunia. Dalam diri mereka tersimpan gengsi dan harga diri tingkat tinggi. Gengsi antarpribadi, dan kedigdayaan antarbangsa. Pep berdarah asli Spanyol. Mou dari Portugal. Jika kalian masih ingat peta sejarah dunia, kedua negara itu sudah berperang, jauh sebelum Eropa disatukan Richard si Hati Singa. Maka menjadi wajar jika Madrid dan Barcelona saling bersicepat merebut perhatian dunia.

Lantas apa yang kemudian menjadikan sepakbola berdayapikat luarbiasa seperti itu? Mungkin kita bisa melihat kecanggihan adu strategi antarpelatih; adu kemampuan dari kedua klub; kebesaran nama klub yang mereka sandang atau sebaliknya; mungkin juga karena wajah tampan para pemain bola yang kemudian menyihir kaum hawa untuk ikutan masuk stadion atau melotot di depan televisi. Tapi analisa itu bisa menjadi sumir dan mentah. Karena pada ghalibnya, sepakbola benarbenar menyajikan keunikan tingkat dewa. Seluruh fakultas kemanusiaan diolah di situ. Bagi para pecinta hidup, belajarlah dari sepakbola. Di dalamnya, ada misteri kekalahan-kemenangan yang tak bisa dipredikalkulasi. Persis seperti hidup ini.  



Setali Tiga Orang
Apa pula tautan antara Pep, Mou dengan Pak Raden? Jawabannya sederhana. Selain nasib ketiganya sedang tidak baik tahun ini, mereka adalah para penghibur sejati yang tak tertandingi. Bahkan hingga takdir melepaskan diri dari hidup mereka nanti. Pak Raden contohnya. Seorang lelaki berdarah ningrat pemilik nama asli Suyadi, berada di balik beskap hitam, blangkon dan kumis tebal Pak Raden yang angker itu. Suyadi yang lahir di Puger, Jember, pada 28 November 1932. adalah pendongeng sejati. Itulah reputasi yang ia pertahankan hingga sekarang ini.

         Suyadi menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (1952-1960) lalu meneruskan belajar animasi di Prancis (1961-1963). Delapanbelas tahun berselang, ia pun beken karena boneka Si Unyil ciptaannya yang kemudian diangkat ke media film oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) lewat tangan dingin Kurnain Suhardiman. Unyil mulai mengudara setiap hari Minggu pagi di stasiun TVRI sedari 5 April 1981 sampai 1993. Pada masa jayanya, serial Si Unyil telah mencapai lebih dari 603 seri film boneka, dan mendapat sambutan hangat dari banyak pemirsanya di antero Nusantara. Saat kemunculan Unyil itu, kami masih berada di lauh al-mahfudz (alam penciptaan). Masih berbentuk ide. Belum memanusia. Menjelang medio 1984, barulah kami mulai menggandrungi Si Unyil yang setia menyambang di hari Minggu pukul delapan pagi. Menanti kedatangannya saat itu, merupakan sebuah penantian yang mengesankan.

Kehebatan Pak Raden dan Unyil terus bergema. Masih di hari Minggu pagi, RCTI melanjutkan hak siarnya sedari 21 April 2002 hingga awal 2003, lalu berpindah ke TPI hingga akhir 2003 dengan jam tayang, Minggu pukul 16.30 WIB. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 19 Maret 2007, Trans 7 mengakuisisi Si Unyil. Selain Unyil dan Pak Raden, masih ada Ucrit, Usro, Kinoy, Meilani, Tina, Bun Bun, Pak Ogah, Pak Ableh, Cuplis, Pak Lurah, Endut, dan Mbok Bariah. Meski sarat kampanye Orde Baru dengan pilihan-pilihan episodenya, Si Unyil tetap di hati kami. Hingga kni. 

Pak Raden benar-benar pendongeng sejati. Bahkan hidupnya pun telah menjadi dongeng bagi banyak orang, sebagaimana yang ia nyatakan sendiri saat kami berkunjung ke rumahnya pada Minggu, 23 April 2012. Tak hanya itu, Suyadi juga sanggup meramal hidupnya sendiri. Ketika menciptakan tokoh Pak Raden, ia seperti sedang menerawang hidupnya di masa depan. Lihatlah beliau kini. Bukankah begitulah Pak Raden yang dulu kita kenal dalam serial Si Unyil? Hidupnya seolah tersiakan. Terlunta dan diabaikan banyak orang. Seolah itulah salahbentuk kemudharatan yang dialami banyak bintang bersinar di dunia.

Jika kami dan banyak orang di luar sana masih memiliki keterkaitan emosional simpati, dan empati dengan Unyil dan kawankawannya, maka begitulah yang juga sedang terjadi dengan Pep dan Mou. Ada orang yang langsung merasa senasib sepenanggungan dengan Pep. Ada yang mengklaim dirinya 11-12 dengan Mou. Juga ada yang jatuh cinta setengah mampus pada Lionel Messi atau Christiano Ronaldo. Tak cukup sampai di situ. Seorang kawan, sampai menabalkan nama belakang gelandang Madrid, Ozil, di deretan nama anaknya. Mungkin ia berharap, kelak bayi lelakinya itu bisa seperti Ozil di lapangan hijau.

Itu baru sederet kegilaan yang sedang mewabah di dunia modern karena pengaruh sepakbola. Masih banyak lagi gejala aneh lain yang tak bisa kami sertakan satu per satu. Karena bukan tidak mungkin, rekan pembaca sekalian telah menciptakan keanehan lain yang bisa bikin Pep dan Mou gelenggeleng kepala. Seperti; gantung diri di bawah mistar gawang, bercinta di lapangan hijau, bercitacita mati di pertandingan; mematikan kehidupan orang dengan sepakbola; menjadikan sepakbola sebagai agama baru; dan menuhankan Lionel Messi. 


Setelah eksistensi Si Unyil dan Pak Raden bertarung dengan ruang-waktu, maka mereka pun masuk lemari sejarah. Pun begitu kiranya dengan Liga Champions. Kelak nanti, para penggila Liga Champions juga akan merasakan kesan dan romantisme yang sama dengan apa yang terjadi pada Si Unyil itu. Ada yang hilang di sudut waktu itu. Di pojokan sejarah masa lalu. Jika sudah begitu, lantas kita bisa apa? Apalagi jika bukan melupa. Lalu mencari medium baru yang bisa memberi hiburan terbaik. Melupa dan mengingat itu perkara yang sama. Soalnya adalah, dari bahan apakah lupa itu terbentuk?    

Dunia yang hanya senda gurau belaka ini, berubah menjadi taman hiburan pede jaya Ancol. Seakan tanpa hiburan, hidup ini selesai bergerak. Padahal hiburan yang sejati adalah hidup yang digerakkan-diselenggarakan dengan kesadaran penuh, bahwa kita tiada berdaya. Lemah lagi hina. Jika berhasil melihat tuhan bekerja di dalam fenomena Unyil dan Liga Champions, kiranya yang terjadi adalah, hidup ini bisa lebih semarak. Berdayaguna dan sanggup meletupkan potensi terpendam kemanusiaan kita berikutnya yang masih tersimpan di titik paling primordial semesta raya: kelahiran. [jagakarsa, 26042012]

1 comment:

  1. Wah semalem ane ga nonton om -.-
    Dulu juga sering nonton unyil pas minggu pagi, tapi memori saya kurang jelas, mungkin sudah tergerus LUPA :D
    Bahasanya bagus om, sayang sekali kalo setelah saya komentar blognya di protect juga, hehehe, you're a peacemaker aren't you?
    I need my 'goodbye' by the way :D

    ReplyDelete

Total Pageviews