Generasi 4G: Gold, Glory, Gospel, Goblok


TULISAN ini saya haturkan pada Mas Kafil Yamin, satu dari sedikit wartawan pilih tanding di negeri ini yang memang bekerja dan mengabdi demi mengabarkan kebenaran—meski nyawa jadi taruhannya. Membaca hasil liputannya yang urung dimuat kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok—tempat ia bekerja, tentang Timor Timur yang dilepaskan dari pangkuan Republik Indonesia oleh kecurangan referendum UNAMET pada 1999, memantik lagi gairah menulis saya untuk kemaslahatan adab manusia.
Hanya saja, tulisan saya ini tidak akan melengkapi kebodohan pemimpin kita bila berhadapan dengan soal utang-piutang fiktif yang disodorkan IMF atau ADB. Tidak.
Saya sudah cukup makan hati mengetahui bahwa bumi Loro Sae cuma contoh kecil dari upaya penggebosan negara Barat yang bahkan telah mereka lakukan sejak era Presiden Sukarno. Siapa pun presiden yang melawan, dipastikan tumbang. Suharto yang semula boneka dan kepanjangan tangan CIA serta FBI untuk menggulingkan Sukarno, juga dibabat sebab tak sanggup mengurusi pendirian negara baru di Aceh (GAM), Maluku (RMS), Papua (OPM), dalam negara yang dipimpinnya.
Itu baru segelintir saja dari sekian banyak kerakusan Barat untuk menggerogoti kekayaan luarbiasa bangsa kita dalam semua lini sumber daya. Nyaris tanpa banding. Tanpa tanding.
Saya sengaja membatasi diri dari mengulas soal tersebut. Kali ini saya akan mengarahkan fokus tulisan pada betapa niat busuk Barat itu sudah mereka usung sejak lama. Terhitung sedari Konstantinopel (kota suci Kristen) direbut Muhammad al-Fatih dari tangan Byzantium pada 1453 M. Meski keberhasilan al-Fatih merebut kota ini tak sebrutal Barat ketika mencaplok Andalusia (1492), atau Afghanistan, Irak, dan Suriah, sebagai contoh terdekat.
Persis setelah Konstantinopel dibekuk oleh al-Fatih itulah, muncul gagasan balas dendam dari Barat Kristen untuk menghancurkan Islam dengan cara apa pun. Andalusia, sebagai negeri gemah ripah yang mandiri di luar kekuasaan Ottoman, jadi terget utama—sampai kemudian kelak mereka berhasil menggulingkan Turki Utsmani pada 1926 M. Misi balas dendam ini mereka sebut Reconquista (Perebutan Kembali). Pada zaman angkatan saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar dulu, kami mengenalnya dengan istilah Gold, Glory, Gospel. Tiga asas itu yang terus dibawa Barat Kristen hingga ke Negeri Bawah Angin (Nusantara), sebagai negeri tempat para pelarian dan pejuang Islam Andalusia bermukim. Ingat Pulau Andalas? Ya, itulah nama Pulau Sumatera pada beberapa dekade lalu. Sekarang, adakah generasi mudah hari ini yang mengetahui bahwa nama itu terambil dari kata Andalusia?
Kembali pada soal 3G (Three G) di atas. Bagi rekan pembaca yang memang tekun merunut riwayat dunia, pasti mafhum kenapa tiga asas itu yang mereka cari. Sekadar penjelasan singkat saja. Sejak Baghdad berdiri megah pada Abad ke-8 hingga kota-kota raksasa dinasti Islam berdiri di Cordova, Granada, Toledo, Seville, Barcelona, Madrid (dalam naungan Andalusia), Samarkhand, Bukhara, Isfahan, dan Aleksandria, perwajahan kota Paris, London, Washington, Muenchen, Roma, Milan, masih seperti pasar ikan di Jembatan Lima. Ngampung, kumuh, bau, dan jauh dari beradab. Jangankan pengetahuan, pakaian mereka pun masih dari kulit kayu. Fakta ini jelas diamini oleh sejarahwan Barat. Tapi luput dari amatan sebagian besar Muslim dunia.
Bangsa Barat sebagai kutub dari kerakusan (lawamah) manusia, pelahan mencari cara untuk merebut dan mendapatkan harta kekayaan dunia yang melimpah ruah itu dari tangan bangsa Muslim. Meski dengan kekejian yang tak terbayang sebelumnya. Para perampok-perompak miskin itu mulai mengirim pemuda-pemudi mereka sekolah di universitas-universitas Islam untuk mengejar ketinggalannya. Hingga kemudian, riwayat sejarah pun berbalik arah. Siasat mereka berhasil. Anjing itu pun menggigit tuannya.
Lantas apa hubungannya 3G dengan negeri ini?
Jelas sangat berhubungan. Negeri kita mengandung Islam dalam darah manusianya. Di sinilah Islam tumbuh subur serbaneka. Hanya di sini dan dari sini pulalah, Islam berkembang menjalar ke seantero dunia. Sejak Kerajaan Kalingga (Holing), hingga republik Indonesia dipimpin tujuh orang presiden. Negeri ini adalah pengejawantahan Islam dalam wujud paling sempurna. Baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai negara dengan penganut Islam terbesar dalam skala dunia, Indonesia takkan mungkin lepas dari amatan Barat Kristen. Ya, memang begitulah faktanya. Maka demi memuluskan niat busuk terselubung itu, harus ada jurus baru yang diluncurkan. Jurus itu pun mereka temukan. Akurasi keberhasilannya, nyaris 100 persen. Apakah itu? Apa lagi kalau bukan Tuhan (God). Islam adalah agama tauhid. Satu-satunya agama di muka bumi yang menolak tegas konsep pantheisme, kejamakan tuhan, antropomorphisme, naturalisme, atheisme, dan eksistensialisme. Tuhan dalam Islam, satu belaka. Tak terbagi. Tak berbilang. Satu-satunya satu yang menyatu dalam kesatuan dan melingkupi segala sesuatu.
Lantas dari manakah konsep ini harus mulai ditanam? Politik? Kebudayaan? Pendidikan? Atau...?
Jawabannya, dimulai dari dalam diri manusia Indonesia. Khususnya para generasi muda. Generasi muda Islam hari ini jelas jauh dan sangat sulit memahami konsep belajar a la pesantren. Mereka hanya tahu bahwa sekolah melulu berujung pada bekerja. Mau itu di pabrik, kantor, atau pegawai negeri. Generasi muda yang entah ini, juga tak lagi paham apa itu elan vital kehidupan. Hilang spirit kemanusiaannya. Mereka lebih senang berkumpul dalam komunitas yang entah berantah; ngobrol ngalor-ngidul berlama-lama di kafe ternama; menguntit status jejaring sosial para pesohor yang hidupnya glamour; duduk mencangkung sambil memainkan seri game terbaru keluaran Amerika dan Jepang.
Semua terjadi begitu mudah hanya dengan mengandalkan internet yang tersambung dalam sabak (gadget) kita hari ini dalam format 4G. Cukup memencet fitur satu-dua aplikasi, wajah dunia langsung terbentang hingga rincian terkecil. Tak perlu lagi mengupas kitab klasik para cerdik pandai Islam untuk memahami sebuah persoalan keislaman. Cukup masuk ke mesin pencari Google, dan hasilnya... “Ente bahlul, ente kafir, ente sesat!” Celakanya, fenomena begini tak hanya terjadi pada ranah agama, melainkan di semua sendi kehidupan kita. Akal pikiran generasi muda kita tak bergerak. Sebagiannya malah mandek. Bahkan nyaris diam di tempat. Lebih menyedihkan lagi, ada begitu banyak manusia di dunia yang mulai terjangkiti penyakit akut ketergantungan pada internet ini.
Isi pikiran mereka dibuat ramai dan tumpul oleh lalu lintas informasi, bukan data. Semua informasi itu tumpah ruah dalam hitungan detik. Informasi yang sifatnya banal. Sama sekali tak berhubungan dengan maslahat kehidupan manusia. Misalnya, apa dampak dipenjaranya seorang artis ‘mbelok’ yang mencabuli remaja tujuhbelasan, dengan masa depan anak-anak muda kita hari ini? Melalui internet, segala informasi berseliweran di depan mata kita—meski tak secara kasat. Peradaban Barat “berhasil” mewujudkan keghaiban yang dalam masyarakat Muslim hanya bisa diakses oleh segelintir orang saja. Internet itu sama belaka dengan makhluk ghaib. Letak perbedaannya adalah, internet yang ghaib itu malah membuat hidup manusia hari ini tetap berada dalam selubung keghaiban. Maya, semu, dan sumir.
Banyak generasi muda hari ini yang mengalami kesulitan akut membedakan hidup yang nyata, dengan kenyataan hidup sesungguhnya. Mereka lebih percaya internet tinimbang manusia yang notabene adalah gurunya atau orangtuanya. Internet, berikut teknologi terapan yang menyertai, berhasil mencabut banyak anak muda gelisah dari akar sejarahnya, dari bahasa ibunya. Dulu, kolonial Belanda menuduh bangsa kita buta huruf (karena tak bisa membaca huruf Latin). Kini persoalan jadi terbalik. Para pemuda Muslim fasih berbahasa Inggris dan buta huruf Arab (bahasa agamanya sendiri), dan bahasa ibu mereka. Kehadiran internet wajib hukumnya membuat manusia bertambah cerdas secara kognitif. Bukan sebaliknya, malah jadi pandir. Saya malah berani bertaruh, hidup manusia Abad-21 bisa seketika primitif jika dan hanya jika, internet diputus jaringannya, pompa bensin ditutup, dan listrik dipadamkan.
Sekarang, dampak dari paparan internet yang salah urus itu, tinggal sedikit saja generasi muda Muslim yang bisa mengakses al-Quran, al-Hadits, kitab kuning, lontara, pupuh, serat, dan kakawin. Padahal di dalamnya terdapat banyak petuah dan petunjuk melakoni urip (hidup) sejati. Hidup yang dititipkan tuhan untuk kita jaga, rawat, diruwat, supaya selamat sampai akhirat. Tuhan, apa pun nama-Nya dalam semua agama yang pernah ada sejak mula hingga hari ini, tetap tak bisa dipisahkan dari diri kita (manusia) yang ajaib dan misterius. Sebab Dia tak pernah benar-benar jauh dan dekat. Tak mungkin di sana pun di sini, atau di mana-mana. Kita hidup bersama tuhan dalam segala sesuatu, dari segala sesuatu, untuk segala seuatu, kepada segala sesuatu, demi segala sesuatu. Itulah kenapa proyek terbesar manusia sepanjang masa adalah upaya penemuan tuhan—yang sejatinya tak pernah hilang.
Terkait ranah spiritual ini, saya tak mungkin menyalahkan para orangtua yang jelas lebih berpengalaman mengurus dan mendidik anak-anaknya. Tak mungkin juga saya menuding para guru bijak bestari sekelas kiyai, yang telah bersusah payah mendidik anak-anak manusia di bawah arahannya.
Saya sekadar mengingatkan diri sendiri agar tak jeri belajar sambil menemani pemuda generasi penerus agar terus belajar memahami dirinya. Jangan sampai mereka kehilangan diri sendiri. Sebab kehilangan diri itulah, kehilangan terbesar dalam hidup manusia. Jika pun akhirnya pencarian diri sejati itu tak tuntas diselenggarakan, setidaknya saya atau kita, sudah berjuang sekuat tenaga, semampunya pikiran, sebaik-baik hati menata kehidupan. []

Omah Prabata, 16 Jumadil Awal 1437 H

1 comment:

  1. tulisannya mantul bang. saya publish boleh? Di era 2019 ini sangat sangat worth it dan menyentil sekali untuk pemuda-pemudi saat ini. hehe

    ReplyDelete

Total Pageviews