Kutitipkan Hidup yang Sederhana ini Padamu



BENAR kiranya petuah orangtua kita yang mengatakan bahwa, “Di malam hari ada banyak hantu berkeliaran.” Sekarang hantu itu bersarang di kamar kita yang mungil ini. Di ranjang yang empat tahun lalu kau kagumi—meski tak semewah yang dibelikan Pangeran William kepada Kate Middleton di hari pernikahan mereka. Di atas ranjang kita, aku kedinginan melawan igauan tidurmu malam ke malam yang kurasa sepanjang seribu bulan. Dari bibirmu yang mungil itulah kudengar untuk kali ke sekian, nama lelaki lain yang entah siapa.

Sayangku... Apa yang sesungguhnya sedang kau sembunyikan di hatimu sekarang? Kenapa begitu berat kau menyampaikannya barang sepatah saja? Apakah aku sudah tak lagi berarti buatmu? Apa keringat yang kutumpahkan selama ini telah  menjadi bacin? Mungkinkah darah yang sudah kualirkan melalui rahimmu dan kini menjadi dua anak kita itu, sudah kehilangan harganya?

“Tidurlah... Buat apa kamu memikirkan malam yang pasti akan menjadi pagi?” itulah jawaban yang selalu kudapat darimu bila kuberanikan bertanya tentang “hantu” itu.
“Aku sedang memikirkan kamu, dan kita.”
Lantas kau terbangun, untuk kemudian menggelung rambut panjangmu yang kemilau surya.
“... Tapi kamu tak pernah memikirkan perasaanku. Selalu saja aku yang bersalah.”
“Aku tidak menyalahkanmu, sayang. Aku hanya sekadar bertanya, siapakah lelaki yang kini bersarang di pikiranmu? Itu saja.”
“Di sini... Tak ada siapa pun selain kamu,” telunjukmu mengarah tepat di hati.
“Lalu nama itu?”
“Nama siapa?”
Ah... aku tak sanggup mengatakannya. Andai kau tahu betapa dalam tidur, kita semua menjadi begitu jujur.
“Lupakanlah. Aku tak ingin mendebatmu di malam sebuta ini.”
“Kalian lelaki, teramat sering mementingkan diri sendiri.”
“Bukan itu maksudku...”
“Aku yang tertakdir sebagai perempuan, terkadang harus mengabaikan diri demi menjaga nama baikmu sebagai suami; Memastikan sarapan pagi terhidang tepat waktu sebelum kamu dan anak kita meninggalkan rumah; Merapikan semua kenangan yang terserak di teras depan, dan mengumpulkannya satu demi satu di dapur yang sesak. Tak cukupkah itu buatmu, suamiku?”
“Aku...”
“Apa pernah kamu mau tahu bagaimana caraku menitipkan anak kita pada setiap malam yang datang? Pernahkah kamu peduli betapa rindunya aku menanti kecupan hangatmu di tiap pagi yang dulu begitu mudah tercipta? Kamu, berubah begitu cepat setelah semua kuberi begitu saja, dengan hati terbuka.”
“Aku tidak pernah berubah, sayang...”
“Lalu ke mana kamu selama ini?”
“Selalu di sini, bersamamu.”
“Tidak..! Aku langsung terlonjak mendengar bentakanmu itu. Tergeragap mengingat itulah kali pertama aku mendengar suaramu meninggi, setelah bertahun lamanya kita bersama.
“Kamu... Kamu tak pernah lagi ada saat aku membutuhkan dekapan yang bisa menghangatkan dan mengusir gundahku.”

Pelahan airmatamu menitik. Saat itu juga aku merasa jadi lelaki paling bersalah sedunia. Kucoba menghapus jejak airmata itu di pipimu, namun tanganku kau tepis begitu saja, dan kau kembali berbaring sambil memberiku punggungmu yang putih terbuka. Sejujurnya kuakui, meski di dalam hati, aku begitu mencintai-menyayangimu. Sebab itu pulalah aku mengkhawatirkan semua kenangan yang pernah kita gurat bersama. Hingga kini. 

Aku belum siap kehilanganmu. Aku benar-benar tak sanggup membayangkan apa jadinya rumah ini tanpa seorang ibu yang merawatnya. Tanpa kamu di samping anak-anak kita. Tidakkah kau sadari betapa aku ingin sekali menyunggi tubuhmu yang lelah mengurusi hidup kami? Tidakkah kau pahami betapa aku pun sangat ingin disunggi olehmu untuk semua hal yang kulakukan di luar sana demi kalian, keluargaku? 

Lihatlah bagaimana Ayah dan Ibuku berjibaku membangun bahtera mereka selama ini. Membesarkan dan mendidik kami anak-anaknya tanpa banyak kata, kecuali tindakan nyata. Aku tahu persis berapa banyak luka yang dipendam Ibu saat menemani Ayah, sejak mereka sama-sama masih bernama anak-anak. Ya, orangtuaku memang sudah saling menautkan hati sedari mereka masih bertetangga, hingga kini mukim di bawah atap yang sama.

Aku sempat mencurigai garis nasib sendiri. Jangan-jangan aku sedang mengulang riwayat Ayah yang gemar betul mengoyak perasaan Ibu yang halus. Ayahku yang perkasa, yang nampak sanggup membelokkan aliran Sungai Deli seorang diri, selalu gagal menyelami hati Ibu yang lebih dalam tinimbang palung di Samudera Hindia. Kukira, itulah yang kulakukan sekarang. Aku hanya menjadi titik sambungan antara masa lalu yang pahit, dengan segenap cinta yang kau sajikan di meja makan kita.

Kelak nanti, kau juga harus tahu, bahwa melihatmu tertidur pulas di sampingku, adalah sebuah kebahagiaan yang tiada dua. Aku menyenangi betul kala menyaksikan keaslianmu dalam setiap tidurmu itu. Ada kepolosan dan kejujuran yang tersembul dengan sederhana, ada kecantikan alami dan purbani yang berurat-akar begitu rupa. Ah, tapi kenapa aku tak sanggup memeluk tubuhmu yang membelakangiku? Kenapa...

Aku, merindukan masa di mana kita saling mencintai dengan ketelanjangan. Nyaris tak ada yang tertutup di setiap sisi hidup kita masing-masing. Semua pintu terbuka lebar, kapan dan di mana saja. Aku bebas masuk ke masa lalumu melalui pintu timur. Kau, tiba-tiba ada di riwayat kelamku lewat pintu barat. Lalu kita bersua di utara, lantas bergandengan tangan menuju selatan. Aih… benar-benar kisah yang sudah kubayangkan saat membaca kisah cinta Ratu Bilqis dan Sulaiman yang Agung, ketika jakunku baru saja tumbuh. 

Barangkali benar adanya. Hantu itu masih berdiam di kamar kita. Aku masih bisa merasai hadirnya di ambang pintu kamar kita. Walaupun aku tak tahu seperti apa rupa hantu itu, serta bagaimana ia bisa merasuki pikiranmu hingga dingin malam menembus tembok kamar ini, dan memaksa kita memberi ruang kecil untuk sama-sama menyimpan tanya, yang entah kapan beroleh jawaban.

“Tidurlah... Untuk apa kamu memikirkan malam yang pasti akan menjadi pagi?” lalu kau membalik badan dan menarikku ke dalam selimut. Peluh kita pun bercucuran, ditingkahi desahan napasmu yang lembut, saat lingga-yoni[1] bersatu dalam rindu abadi. []




[1] Lingga-yoni adalah simbol kesuburan dari tradisi Hindu, yang berbentuk tiang menancap di dalam liang. Masyarakat tradisional di pedesaan Nusantara, menamainya sebagai Dewi Sri. Soekarno, memunculkannya sebagai supremasi kebanggaan negara yang kini kita kenal sebagai Monumen Nasional. 

2 comments:

  1. Replies
    1. kisah ini adalah bab ke-2 dari apa yang waktu itu kau minta, vira. tapi dari novel berbeda

      Delete

Total Pageviews